Kamis, 03 September 2015

Awal Mula Sidoarjo (JALAN LEMPANG KE SIDOARJO)

JALAN LEMPANG KE SIDOARJO


 
Alun - alun sidoarjo
 
  Perjalanan Sidoarjo menjadi daerah yang mandiri tidak memerlukan proses yang berbelit. Sebagaimana diketahui, bahwa wilayah Surabaya sangat luas, bahkan sampai ke Pulau KalimantanSecara sederhana bisa dikatakan pembentukan Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu cara untuk mempermudah pengawasan terhadap Kabupaten Surabaya setelah pemberontakan Adipati JayengranaDengan penyempitan area Surabaya maka Sidoarjo tidak lagi menjadi bagian Kabupaten Surabaya. 
Pada awalnya kota ini bernama Sidokare yang dipimpin oleh seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom. Patih ini dibantu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Panggabahan pada tahun 1851. Pada saat itu Sidokare masih merupakan daerah bagian dari Kabupaten Surabaya. 
Untuk membagi daerah Surabaya yang begitu luas, maka pada tahun 1859 pemerintah Belanda menjadi dua. Dasar hukum pembagian ini adalah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda no. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6, yang menyatakan daerah Kadipaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare. 


Dengan demikian Kabupaten Sidokare tidak lagi menjadi daerah bagian dari Kabupaten Surabaya dan sejak itu mulai diangkat seorang Bupati utuk memimpin Kabupaten Sidokare yaitu R. Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) berasal dari Kasepuhan. Dia adalah putera R.A.P Tjokronegoro Bupati Surabaya, dan bertempat tinggal di kampung Pandean atau juga di sebut Pekauman
Tetenger yang menandai masa pemerintahannya adalah dibangunnya masjid di Pekauman (Masjid Abror sekarang), sedang alun-alunnya pada waktu itu adalah Pasar Lama (sekarang Pertokoan Matahari Store). Dalam tahun 1859 itu juga, dengan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 10/1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblad. 1859 nama Kabupaten Sidokardiganti dengan Kabupaten Sidoarjo


Masjid Abror saat ini
 Berdasarkan surat itu pula Kabupaten Sidoarjo dinyatakan terbentuk yaitu pada tanggal 28 Mei 1859 dengan R.Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) sebagai bupati pertama.Batas wilayah nya sesuai dengan batas wilayah Sidoarjo yang sekaran yaitu Sebelah Timur (Selat Madura), Barat (Kabupaten Gresik), Utara (Kabupaten Surabaya) dan Selatan ( K a b u p a t e n Pasuruan). Dalam  bidang  pemerintahan  tersusun  menjadi  Kawedanan (Distrik) yaitu: Kawedanan Gedangan, Kawedanan Sidoarjo, Kawedanan Krian, Kawedanan Taman Jenggolo, Kawedanan Porong Jenggolo, Kawedanan Bulang.   


“Bupati Sidoarjo Era Kolonial” 

Semula rumah Kabupaten di daerah kampung Pandean, kemudian Bupati Tjokronegoro I memindahkannya ke Kampung Pucang (Wates). Adapun tetenger pemindahan ini adalah Masjid Jamik (Masjid Agung), Pesarean Pendem (Asri). Pada tahun 1862, beliau wafat setelah menderita sakit, dan dimakamkan di Pesarean Pendem (Asri). Sebagai gantinya pada tahun 1863 diangkat kakak almarhum sebagai Bupati Sidoarjo, yaitu Bupati R.T.A.A Tjokronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono), pindahan dari Lamongan.
      Pada masa pemerintahan Bupati Tjokronegoro II ini pembangunan pada era   sebelumnya mendapat perhatian sangat besar antara lain, meneruskan pembangunan Masjid Jamik yang masih sangat sederhana, perbaikan terhadap Pesarean Pendem dan dibangunnya kampung Magersari.
    Pada tahun 1883 Bupati Tjokronegoro pensiun. Pada tahun sama beliau wafat dan dimakamkan di Pesarean Botoputih Surabaya. Sebagai gantinya diangkat R.P Sumodiredjopindahan dari Tulungagung tetapi hanya berjalan 3 bulan karena wafat pada tahun itu juga dan dimakamkan di Pesarean Pendem. Sebagai gantinya diangkatlah  R.A.A.T. Tjondronegoro I sebagai Bupati Sidoarjo. Pada masa pemerintahannya Masjid Jamik diperindah dengan pemasangan marmerPembangunan ini dimulai hari Jum’at Kliwon tanggal 26 Muharrom 1313 H, bertepatan dengan tahun Wawu 1825 dan tanggal 19 Juli 1895. Bagi Pesarean para Bupati serta keluarganya, para penghulu dan segenap ahlul masjid ditetapkan di pekarangan Masjid Jamik (seperti yang kita saksikan sekarang).

“SIDOARJO di Masa Pancaroba Sejarah”

     Pancaroba masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 ialah ucapan yang lumrah diketengahkan dalam sejarah Sidoarjo, bahwa suatu jiwa zaman (zeitgeist) membentuk kepribadian seseorang dan kelompok masyarakat yang hidup di masa itu. Abad ke-20 bercirikan nasionalisme serta produk perkembangan-nya, yaitu negara nasion. Maka berbicara tentang Kabupaten Sidoarjo tidak lepas dari nasionalisme, dan sebaliknya perkembangan nasionalisme tidak dapat lepas dari peran kepemimpinan yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo. 
Beberapa dasawarsa menjelang tahun 1900, Sidoarjo mengalami perubahan ekonomi, sosial dan politik sebagai dampak modernisasi seperti pembangunan   komunikasi. Antara lain kereta api, jalan raya, telepon, telegraf, industri pertanian dan pertambangan, edukasi dari sekolah rendah sampai pelbagai pengajaran profesi dalam kedokteran, teknologi pertanian dan lain sebagainya. 
Tidak mengherankan apabila timbul peningkatan mobilitas, pendidikan profesi, ekonomi pasar serta ekonomi keuangan dan lain-lain. Kebingungan rakyat dalam menyikapi perubahan itu, menciptakan pada rakyat sejak kira-kira pertengahan abad ke-19 pandangan dunia, seperti gambaran kuno ialah datangnya Kaliyuga atau datangnya kiamat (apocalyps). 
Kedatangan akhiring zaman ditandai antara lain oleh “Pulau Jawa sudah berkalung besi atau adanya rel kereta api, anak yang sudah tahu nilai uang akibat adanya monetisasi, anak tidak lagi mematuhi kata orangtua, dan sebagainya. Adanya kebingungan berubahnya nilai-nilai, karangan pujangga terakhir Ranggawarsita maka dalam serat Kalatida menyatakan Jamane jaman edan sing ora edan ora keduman... Begja begjane kang lali luwih begja kang eling lan waspada.” 
Di sini zaman penuh perubahan nilai-nilai menimbulkan kebingungan, karena orang kehilangan pegangan sehingga kelakuannya serba aneh (seperti orang gila). Orang tidak jujur (korup) menjadi kaya dan yang jujur tidak menjadi kaya akan tetapi yang paling bahagia adalah orang yang tetap ingat (jujur) serta waspada. 
Begitulah perubahan. Selalu menyisakan kegamangan, namun sekaligus menawarkan harapan akan lahirnya sesuatu yang baru. Nasionalisme, saat itu menjadi kata yang tiba-tiba menyedot perhatian publik. Sama dengan kata globalisasi di awal abad 21 saat ini. Menurut H Kohn, nasionalisme adalah suatu state of mind and an act of consciousness. Jadi sejarah pergerakan nasional harus dianggap sebagai suatu history of idea. Dari pernyataan ini secara sosiologis, ide, fikiran, motif, kesadaran harus selalu dihubungkan dengan lingkungan yang konkrit dari situasi sosio-historis.
   Pengertian lain dari nasionalisme dapat disebut sebagai social soul  atau “mental masyarakat”,  sejumlah perasaan dan ide-ide yang kabur”, dan sebagai a sense of belonging. Dan beberapa lagi, pengertian nasionalisme yang lain, yaitu merupakan produk atau antitese dari kolonialisme.
Dari berbagai pengertian di atas tidak terdapat perbedaan yang mendasar, justru menunjukkan persamaan, yaitu semuanya lebih bersifat sosio-psikologis.   Ini berarti nasionalisme sebagai suatu bentuk respon yang bersifat sosio- psikologis tidak lahir dengan sendirinya. Akan tetapi lahir dari suatu respon secara psikologis, politis, dan ideologis terhadap peristiwa yang mendahului-nya, yaitu imperialisme   atau kolonialisme. Jika demikian halnya, maka awal terbentuknya nasionalisme lebih bersifat subjektif, karena lebih merupakan reaksi group consciousness, dan berbagai fakta mental lainnya. Dari sekian jumlah penggunaan istilah di atas, semuanya merupakan komponen-komponen keadaan jiwa dan pikiran yang tidak dijelaskan secara rinci perbedaannya. Dengan demikian, akan mengalami kesulitan dalam menggunakannya sebagai terminologi maupun konsep analitis untuk mencari struktur dan sifat-sifat nasionalisme itu sendiri. 
    Secara analitis, nasionalisme mempunyai tiga aspek yang dapat dibedakan, pertama aspek cognitif, yaitu menunjukkan adanya pengetahuan atau pengertian akan suatu situasi atau fenomena. Dalam hal ini adalah pengetahuan akan situasi kolonial pada segala porsinya aspek goal/value orientation, yaitu menunjukkan keadaan yang dianggap berharga oleh pelakunya. 
Nah, yang dianggap sebagai tujuan atau hal yang berharga adalah, memperoleh hidup yang bebas dari kolonialisme; aspek affective dari tindakan kelompok menunjukkan situasi dengan pengaruhnya yang menyenangkan  atau menyusahkan bagi pelakunya. Misalnya berbagai macam diskriminasi pada masyarakat kolonial melahirkan aspek affective tersebut. Apa yang terjadi di Sidoarjo saat itu? Tak lain kesadaran pribumi untuk merdeka, tidak berada di bawah tempurung kolonial, yang semakin menggelora. Para pelajar Sidoarjo mulamerumuskan impian baru tentang ruang hidup mereka. Para pedaganpribumyang peranny semakin termarginalisasikan, mulai merasakan kesumpekan. Berdirinya Boedi Oetomo, 1908, Sarekat Islam, NU, Muhammadiyah, Indische Partij, ISDV, PKI dan masih banyak lagi organisasi lain menjadi gairah baru bagi warga Sidoarjo untuk memilihnya sebagai payung rasa nasionalisme yang mereka miliki.
     Bahkan di negeri Belanda pun para pelajar Indonesia membentuk Perhimpunan Indonesia. Belanda menanggapi secara positif, dengan mengeluarkan Bestuurshervormingswet pada 1922, yang membuka peluang bagi pembentukan badan- badan pemerintahan baru dengan mengikut sertakan lebih banyak lagi keterlibatan bumiputera. Memang, dari segi historis politik kolonial itu menghasilkan hominies novi atau manusia baru. Yaitu priyayi intelegensia yang akan berperan sebagai modernisator atau aktor intelektualis dalam profesionalisme teknologi bidang industri, pertanian, kedokteran, biroktasi, pendidikan, dan sebagainya. 
     Dalam menyebut pendidikan sebagai unsur politik kolonial, perlu diketengahkan Politik Etis pada awal abad ke-20 dengan trilogi pendidikan wanita, biaya pendidikan, dan pendidikan pada umumnya. Ini langkah pelaksanaan pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 serta merupakan perwujudan ekspresi dari edukasi, irigasi, dan emigrasi.
    Pada akhir dekade pertama, saat itu dijumpai kultur baru di Sidoarjo, berupa life style tersendiri di tengah masyarakat. Ini sebagai imbas eksisnya kaum priyayi inteligensia serta pimpinan bangsawan atau kaum aristokrasi yang saat diwakili oleh organisasi Boedi Oetomo. Maka, selaras dengan kondisi itu sifat organisasi, gerakannya tidak mungkin radikal.
     Sementara, kaum pedagang menengah dan penduduk kota sebagai anggota Muhammadiyah juga lebih bersifat moderat, sedang SI yang mencakup lapisan menengah sampai bawah terdiri atas aneka ragam golongan antara lain golongan petani, golongan pertukangan industrialis rumah tangga, serta pedagang kecil. Ada pula penganut ideologi merupakan campuran antara gerakan tradisional dan setengah modern kota. Meskipun masih bercorak etnonasionalistis, namun saat itu ditengarai sudah ada komunikasi antara golongan bawah menengah dan atas. Komunikasi semacam ini, sebenarnya tidak hanya terjadi di Sidoarjo. Kongres Jong Java pada 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta, adalah contohnya. Bagaimana semangat dan sikap kaum maju dalam akhir dekade pertama Indonesia saat itu, dapat diamati selama kongres tersebut. Sangat menonjol jenis nasionalisme pertemuan itu ialah etnosentrismeBerbagai golongan yang ada di Sidoarjo, antara lain golongan bangsawan, golongan aristokrasi, dokter, guru, siswa dari berbagai sekolah seakan menjadi satu dalam semangat yang sama. Ini semua memberikan makna, bahwa tidak lagi dipatuhi aturan feodal dan ada komunikasi lebih bebas.  Di sini, kita melihat tanda-tanda permulaan dari demokrasi. Dari substansi pembicaraan terbukti perhatian mereka luas, mencakup kesejahteraan kehidupan rakyat dan bagaimana mereka menyikapi kebudayaan Barat. Dalam skala nasional, peristiwa yang menarik adalah pidato Soetomo; dialog antara dokter Tjipto Mangunkoesoemo dan dokter Radjiman Wedyodiningrat.  Dokter Soetomo mengutarakan keadaan negerinya yang serba terbelakang di berbagai bidang, antara lain bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, peternakan, perumahan, dan sebagainya. Pidato itu mencakup berbagai segi kehidupan rakyat yang sangat komprehensif, tetapi tidak disinggung masalah politik, diskriminasi sosial dan serba tertinggal dalam tingkat pendidikan. Sesuai dengan tingkat kepri-yayiannya, dokter Soetomo tidak melancarkan kritik terhadap pihak kolonial, masih jauh dari retorik serta diskusi yang diungkapkan Bung Karno. Sementara Dokter Tjipto Mangunkoesoemo lebih progresif. Bahwa kemajuan dapat dicapai dengan menerima dan menyikapi positif proses westernisasi terutama dalam segi teknologinya.  Sebagai visi alternatif, Dokter Radjiman Wedyodiningrat mengutarakan bahwa mungkin lebih baik tetap bersifat konservatif dalam menghadapi westernisasi. Bangsa Indonesia telah memiliki kultur atau peradaban sendiri, lebih-lebih dengan perbendaharaan yang cukup kaya raya, khususnya dalam hal ini pembicara merujuk kepada kesenian dan Kesusastraan Jawa. Radjiman lebih condong mempertahankan kebudayaannya sendiri serta berhati-hati dalam menerima kebudayaan Barat. Sedang dokter Tjipto Mangoenkoesoemo lebih cenderung menerima westernisasi terutama yang dimaksud bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. 
Rupanya, pada zaman itu kolonialisme semakin kuat sistem dominasinya sehubungan dengan ancaman Perang Dunia II serta ancaman ekspansi Jepang. Pidato-pidato Soekarno semaki lebi tega menyeran kolonialism daimperialismenya negara Barat. Nyatanya nasionalism Indonesia pada fase-fase perkembangannya merupakan reaksi sesuai dengan zeitgeist. Dalam menghadapi modernisasi lewat westernisasi oleh para kaum maju, jelas disadari bahwa tidak ada jalan lain daripada mengutamakan edukasi menurut sistem Barat. Berlangsunglah sistem pendidikan semacam itu di Jawa, dan juga Sidoarjo. 
Mobilitas penduduk ini tidak bisa total ketika pemuda akhirnya mengetahui apa motif asli Jepang datang ke tanah air. 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu. Sehingga Kaigun, Tentara Laut Jepang, yang berada di sekitar Delta Brantas pusatnya di ujung Surabaya, dengan sembunyi- sembunyi menyerahkan senjatanya kepada pemuda-pemuda kita. 
Proklamasi dikumandangkan dwitungal Soekarno-Hatta. Yang patut dicacat adalah bulan-bulan berat dalam perjuangan kemerdekaan  Indonesia,  yaitu  ketika  Belanda  yang membonceng kedatangan Sekutu kembali menduduki Sidoarjo.
Sepenggal kisah yang tercatat, ketika Belanda sampai di kawasan Gedangan, Bupati memindahkan tempat pemerintahan kabupaten ke Porong. Hingga 24 Desember 1946, Belanda benar-benar menyerang kota dari jurusan Tulangan. Dalam hitungan jam, Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Segenap jajaran pemerintahan Kabupaten Sidoarjo terpaksa mengungsi ke sekitar Jombang.
Sejak saat itu, Sidoarjo dibawah pemerintahan Recomba. hingga tahun 1949. Di akhir tahun 1948, bukan saja karena Republik yang masih usia balita itu harus menghadapi musuh di depan (Belanda) tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anak- bangsa sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September 1948. Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi) militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu kota Republik, Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota ditangkap.
Sejak itu, Belanda menganggap Republik sudah tamat riwayat-nya.Akan tetapi, kemenangan militernya itu hanya bersifat sementara. Walaupun ibu kota Yogya jatuh ke tangan Belanda, serta berhasil menawan Soekarno-Hatta dengan sejumlah menteri, nyatanya Republik tidak pernah bubar
Suatu titik balik yang tak terduga oleh Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan. Pertama, dari Yogya dan kedua dari Bukittinggi di Sumatera. Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden membe-rikan mandat Mr Sjafruddin Prawira-negara untuk membentuk Pemerintah-an Darurat RI di Sumatera.
Jika ikhtiar ini gagal, mandat diserahkan kepada Dr Soedarsono, Mr Maramis dan Palar untuk membentuk exile- government di New Delhi, India. Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat “dikawatkankarena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda. Namun, naskah-nya dalam bentuk ketikan sempat beredar di kalangan orang Republieken. Kedua, sewaktu mengetahui via radio bahwa Yogya diserang, Mr Sjafruddin Prawiranegara waktu itu Menteri Kemakmuran yang sedang bertugas di Sumatera, segera mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan Yogya, melainkan atas inisiatif spontan, Sjafruddin dengan pemimpin setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan sebagai pemerintah alternatif bagi Republik yang tengah menghadapi koma.
Sidoarjo pun menghadapi kondisi serupa. Namun, sebagaimana mereka yang jauh dari sentrum kekuasaan, di sini cuma bisa menunggu perkembangan. Perang tentu saja terjadi, yang mengubur darah segar para pribumi yang tiba- tiba jadi pejuang perbaik untuk bangsanya.
Pasca penyerahan kembali kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, R. Soeriadi Kertosoeprojo menjabat sebagai Bupati. Entah mengapa, pada periode ini muncul ‘pemberontakan daerahyang dilakukan oleh bekas kepala desa Tromposari, Kecamatan Jabon, Imam Sidjono alias Malik. 
Dia memobilisasi dukungan dengan mengajak lurah-lurah untuk menggulingkan bupati. Dengan senjata bekas  kepunyaan KNIL, gerombolan ini berhasil menguasai Gempol, Bangil, hingga Pandaan. Mereka juga gigih mengadakan infiltrasi ke seluruh sudut kabupaten Sekitar pertengahan Mei 1951, perlawanan Malik sedikit demi sedikit berhasil diredam setelah ia tertangkap di Bangil. Operasi kontinyu dari aparat, akhirnya berhasil menangkap para pengikut Malik hingga keamanan berangsur kondusif lagi.

“Dari Arak Api hingga Terpisahnya Anak-Isteri” 

Manisnya gula tak semanis sejarahnya. Ada politik saling menelikung, ada pedihnya penderitaan petani tebu, dan ada senggol menyenggol kepentingan ekonomi. Sejarah berdirinya pabrik-pabrik gula di Sidoarjo, bak ungkapan tadi. Dinding- dinding tebal berlumut PG Watoetoelis, PG Toelangan, PG Kremboong dan PG Krian, menjadi saksi bisu, betapa kompleksnya persoalan di balik bulir-butir putih nan manis, yang melengkapi secangkir kopi, teh atau susu itu, agar rasanya membuat lidah bergoyang. Memang pada akhirnya, kita hanya bisa tergagap. Betapa gemilangnya dunia pergulaan berubah meredup. Bill Guerin, kolomnis Asia Times, memaparkan bahwa saat ini, secara makro industri gula nasional telah hancurPadahal, pada era kolonial, Jawa pernah mengalami masa keemasan bahkan termasuk terbesar kedua di dunia, setelah Kuba. Analisis yang bernada kelakar, barangkali dikarenakan tanaman tebu gula atau suikerriet bukan tanaman asli Indonesia, sehingga tidak betah memberi kontribusi besar di tanah yang bukan kelahirannya. Namun, di negeri asalnya sendiri, India Timur dan Pasifik selatan, ternyata tebu juga tidak juga dijadikan idola yang menghasilkan kekayaan berlebih.
Baiklah, mari kita tengok sejarahnya. Konon, penyebaran tebu gula dimulai oleh para pedagang Tionghoa dan Arab yang berlayar hingga ke Jawa sekitar abad ke-8. Kala itu, air tebu merupakan barang mewah, yang konsumennya hanyalah segelintir elite yang memiliki privilege saja. 
Sampai abad ke-15, masyarakat Jawa umumnya masih memakai jenis pemanis lain, seperti madu dan tanaman umbi- umbian. Hingga kemudian hadirnya tanaman kopi, teh dan coklat yang dibawa oleh kolonialis Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda maka air tebu menjadi kebutuhan pokok, sebagai pemanis minuman dari bahan tanaman itu.
Apalagi setelah orang-orang Tionghoa menemukan alat
pengepres tebu yang kemudian ditiru prototipenya oleh Portugis dan Spanyol, yang berekspansi ke Hindia Barat dan Amerika Selatan. Sejak itulah gula muncul menjadi barang dagangan yang dikonsumsi luas terutama di daratan Asia dan Eropa.
Perkembangan pengepresan tebu di Jawa, secara profesional dimulai di Batavia, pada awal abad ke-17 dengan pengelola warga Tionghoa. Sebuah buku yang secara sekilas mengupas kisah keberhasilan dagang kaum bermata bermata sipit ini adalah Ni Hoe Kong Kapitein Tionghoa di Betawie dalem tahon 1740, yang ditulis Hoetnik tahun 1923. Syahdan, Ni Hoe Kong adalah orang kaya yang tinggal di sekitar Ommelanden, Batavia Selatan. Ia terpilih sebagai Kapitein Tionghoa di Batavia tahun 1740. Pengertian Kapitein dalam tulisan Hoetnik, barangkali semacam pemimpin sosial dan bukan gelar kepangkatan dalam bidang kemiliteran. Saat itu, syarat seorang diangkat jadi Kapitein adalah kaya raya. Dan agaknya, di antara kalangan kongometat Tionghoa lainnya, Ni Hoe Kong termasuk yang paling pantas mendapatkan gelar itu. Ia adalah pemilik banyak tanah dan 14 penggilingan tebu, yang disewakannya ke warga Tionghoa yang lain. Para konglomerat Tionghoa itu tidak lupa menggandeng para pejabat VOC yang juga pedagang besar. Mereka terlibat dala membiayai penggilingan-penggilingan tebu ini. Bahkan, VOC mulai melakukan pengiriman gula Batavia sejak 1637 ke Eropa, dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari 10.000 pikul. VOC biasanya membeli dari para Tionghoa, dengan harga setiap pikul antara empat hingga enam rijksdaalder tergantung kualitasnya. The Worlds Cane Sugar Industry Past & Present karya Geerligs, menjelaskan, bahwa sayangnya awal yang begitu baik ini tidak didukung kemampuan dalam melakukan kompetisi pasar. Ketika India, koloni Inggris, juga memasok gula ke Eropa, VOC surut dari percaturan perdagangan gula. Penggilingan yang aktif merosot menjadi hanya tinggal sepuluh buah pada tahun 1660.
Mundurnya VOC dari perdagangan gula ke Eropa, tidak serta merta mengendurkan semangat warga etnis Tionghoa. Mereka tetap gigih mengusahakan pengepresan gula, hingga tercatat pada tahun 1710 tercapai jumlah sekitar 130 buah penggilingan, dengan produksi rata-rata setiap penggilingan kurang lebih 300 pikul.
Meskipun demikian pada masa-masa selanjutnya terjadi
pasang surut pada jumlah penggilingan maupun produksinya. Seperti dalam tahun 1745, terdapat 65 penggilingan sedang pada 1750 naik menjadi 80, dan di akhir abad ke-18 merosot tinggal 55 penggilingan yang memasok sekitar 100.000 pikul gula. Wajar jika pertanyaan muncul, apa yang menyebabkan jumlah penggilingan di atas mengalami pasang-surut sangat drastis? Ada kemungkinan karena sederhananya penggilingan atau pengepres gula tersebut sehingga dapat dipindah- pindahkan. Elson, dalam The Impact of Governement Sugar Cultivation in the Pasuruan Area, East Java, During the Cultivation System Period mengungkapkan bentuk dan teknologi pengepres tebu ini, hanya terdiri dari dua buah selinder batu atau kayu yang diletakkan berhimpitan, dengan salah satu selinder diberi tonggak sedang pada ujung tonggak diikatkan ternak, atau digunakan tenaga manusia untuk memutar selinderSementara itu pada salah satu sisi pengepres biasanya satu orang atau lebih memasokkan tebu. Kemudian hasil pengepresan dialirkan ke kuali besar yang terletak tepat di bawah selinder. Mudah pengoperasiannya dan dapat dipindah - pindahkamenurut kebutuhan. Di masa panen tebu, penggilingan-penggilingan ini akan dibawa menghampiri kebun yang sedang panen. Sedang tenaga kerja yang digunakan penggilingan penggilingan Tionghoa ini, dikerahkan buruh-buruh etnis Tionghoa yang sangat banyak, dan buruh-buruh Jawa yang didatangkan dari karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa  Tengah terutam dar Cirebon,  Tega daPekalongan. Hoetink memperkirakan, dari segi politis, berlimpahnya populasi komunitas Tionghoa di sekitar Batavia ini belakangan membuat komunitas Eropa ketakutan. Sehingga di tahun 1740, terjadi ‘pembasmian orang-orang Tionghoa. Ada dua dugaan tentang sebab-sebab merosot hingga berakhirnya penggilingan-penggilingan ini. Pertama, diajukan oleh Knight yang melihat bahwa, faktor-faktor ekologis cukup besar pengaruhnya sehingga menyebabkan keruntuhan industri gula Ommelanden
Sebagaimana diketahui, dalam proses pemasakan gula sangat banyak diperlukan kayu bakar. Rupa-rupanya orang- orang Tionghoa, dalam periode hampir seabad, telah dengan sangat intensif, menggunduli pohon-pohon dan fertilitas dataran rendah Batavia. Sedang dugaan lain dapat diikuti dari Geschiedenis van de suiker op Java atau Sejarah Gula di Jawa, yang memberi sepenggal informasi yang menyatakan bahwa penggilingan ommelanden sangat tergantung pada modal yang disediakan oleh Vereenigde Oost-Indische CompagnieKumpeni begitu orang Jawa mengatakan, setiap tahunnya menyediakan dana untuk uang panjar atau persekot sebesar 8.000 gulden. Dan bantuan keuangan ini terhenti dengan terjadinya peperangan di Eropa yang dikomando Napoleon Bonaparte dari Prancis. Kedua dugaan tersebut bisa jadi saling berkorelasi. Meskipun dugaan yang pertama akan sulit untuk dibuktikan, karena belum ada penelitian untuk mendukung pendapat tersebut. Sedang pendapat kedua mungkin lebih mendekati kebenaran. Sebab berhentinya penggilingan-penggilingan Tionghoa ini juga bersamaan waktunya ketika VOC bubar di akhir abad 18. Namun demikian, bagaimanapun juga, gula atau sirup tetap menjadi barang-dagangan yang dikonsumsi oleh masyarakat Eropa yang bermukim sementara waktu di Jawa dan pesisir Asia Tenggara dan TimurKarena, selain gula dipergunakan sebagai pencampur minuman kopi, coklat dan teh, tetes atau gula kental pun dapat diolah melalui fermentasi tertentu, diubah menjadi arak atau rum. Sehingga, meskipun industri ommelanden runtuh di akhir abad 18, tidak mematikan bisnis penggilingan gula yang mulai muncul di tempat-tempat lain.  Arak dan rum menjadi hampir separuh produksi ommelanden. Setelah industri gula Batavia ini runtuh, produksi arak dilanjutkan oleh para pedagang-besar Inggris pada perkebunan Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat. Dalam tahun 1820-an, dua buah penggilingan milik Tionghoa yang berada di Karesidenan Pekalongan, yang memproduksi sekitar 1800 pikul gula setiap tahunnya, mengirimkan empat per lima produksi tetes-nya atau sekitar 1.440 pikul ke Batavia dan Semarang untuk disuling menjadi rum. Penyulingan rum menyurut dengan runtuhnya industri gula yang dikelola para pedagang besar Inggris di akhir 1820-an. Raffles dalam The history of Java tahun 1817, bahkan pernah memuji arak buatan Jawa. Ia mensejajarkan arak Jawa dengan arak buatan Filipina. Disebutkannya, bahwa arak nomor satu produksi Jawa terkenal dengan julukan arak apiPada kurun cultuurstelsel, arak hanya diproduksi oleh beberapa pabrik, antara lain Wonopringo, Pekalongan. Menurut Geerligs, merosotnya produksi rum dan arak, karena dianggap telah tidak menguntungkan untuk dijual. Di Eropa produksi rum dan arak sangat melimpah, sehingga harganya merosot. Gula masih tetap diproduksi oleh orang-orang Tionghoa di sepanjang karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur atau Oosthoek. Namun, kedudukan para pengolah gula terlalu lemah, sehingga pada saat terjadi meningkatnya per-mintaan gula, manufaktur-manufaktur yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa ini dirampas oleh orang- orang Eropa. Dan kemudian dikelola dengan cara sewa desa, yaitu desa-desa dilepaskan dari kekuasaan para bupatinya, antara 3 sampai 10 tahun. 
Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, menulis, ternyata ketika kurun pemerintahan Daendels, 1808- 1811, sistem sewa desa ini pernah dicoba untuk dihapuskan. Tetapi penghapusan sewa desa ini pun dikenakan pada desa- desa yang memproduksi barang yang tidak menguntungkan gubernemen. Sedang desa-desa penghasil nila dan tebu gula yang menggunakan sistem sewa desa, masih tetap dipertahankan.