JALAN LEMPANG KE SIDOARJO
Alun - alun sidoarjo |
Pada awalnya kota ini bernama Sidokare yang dipimpin oleh seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom. Patih ini dibantu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Panggabahan pada tahun 1851. Pada saat itu Sidokare masih merupakan daerah bagian dari Kabupaten Surabaya.
Untuk membagi daerah Surabaya yang begitu luas, maka pada tahun 1859 pemerintah Belanda menjadi dua. Dasar hukum pembagian ini adalah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda no. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6, yang menyatakan daerah Kadipaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare.
Dengan demikian Kabupaten Sidokare tidak lagi menjadi daerah bagian dari Kabupaten Surabaya dan sejak itu mulai diangkat seorang Bupati utuk memimpin Kabupaten Sidokare yaitu R. Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) berasal dari Kasepuhan. Dia adalah putera R.A.P Tjokronegoro Bupati Surabaya, dan bertempat tinggal di kampung Pandean atau juga di sebut Pekauman.
Tetenger yang menandai masa pemerintahannya adalah dibangunnya masjid di Pekauman (Masjid Abror sekarang), sedang alun-alunnya pada waktu itu adalah Pasar Lama (sekarang Pertokoan Matahari Store). Dalam tahun 1859 itu juga, dengan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 10/1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblad. 1859 nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo.
Masjid Abror saat ini |
Berdasarkan surat itu pula Kabupaten Sidoarjo dinyatakan
terbentuk yaitu pada tanggal 28 Mei 1859 dengan R.Notopuro
(R.T.P Tjokronegoro) sebagai bupati pertama.Batas wilayah
nya sesuai dengan batas wilayah
Sidoarjo yang sekaran yaitu Sebelah Timur (Selat Madura), Barat (Kabupaten Gresik), Utara (Kabupaten Surabaya) dan Selatan (
K a
b u
p a
t e
n Pasuruan). Dalam bidang
pemerintahan tersusun menjadi
6 Kawedanan (Distrik) yaitu:
Kawedanan Gedangan, Kawedanan Sidoarjo, Kawedanan Krian, Kawedanan Taman Jenggolo, Kawedanan Porong Jenggolo, Kawedanan Bulang.
“Bupati Sidoarjo Era Kolonial”
“Bupati Sidoarjo Era Kolonial”
Semula rumah Kabupaten di daerah kampung Pandean, kemudian Bupati Tjokronegoro I memindahkannya ke Kampung Pucang (Wates). Adapun tetenger pemindahan ini adalah Masjid Jamik (Masjid Agung), Pesarean Pendem (Asri). Pada tahun 1862, beliau wafat setelah menderita sakit, dan dimakamkan di Pesarean Pendem (Asri). Sebagai gantinya pada tahun 1863 diangkat kakak almarhum sebagai Bupati Sidoarjo, yaitu Bupati R.T.A.A Tjokronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono), pindahan dari Lamongan.
Pada masa pemerintahan Bupati Tjokronegoro II ini pembangunan pada era sebelumnya mendapat perhatian
sangat besar antara
lain, meneruskan pembangunan
Masjid Jamik yang masih sangat
sederhana, perbaikan terhadap Pesarean Pendem
dan dibangunnya kampung Magersari.
Pada tahun 1883 Bupati
Tjokronegoro pensiun. Pada tahun
sama beliau wafat dan dimakamkan
di Pesarean
Botoputih Surabaya. Sebagai
gantinya diangkat R.P Sumodiredjo. pindahan dari Tulungagung
tetapi hanya berjalan
3 bulan karena wafat pada tahun itu juga dan dimakamkan
di Pesarean Pendem. Sebagai gantinya
diangkatlah R.A.A.T.
Tjondronegoro I sebagai Bupati Sidoarjo. Pada masa pemerintahannya Masjid
Jamik diperindah dengan pemasangan marmer. Pembangunan ini dimulai hari Jum’at Kliwon tanggal 26 Muharrom 1313 H, bertepatan dengan tahun Wawu 1825 dan tanggal
19 Juli
1895. Bagi Pesarean para Bupati
serta keluarganya, para penghulu
dan segenap ahlul masjid ditetapkan di pekarangan
Masjid Jamik (seperti yang kita
saksikan sekarang).
“SIDOARJO di Masa Pancaroba Sejarah”
Pancaroba masa peralihan
abad ke-19 ke abad ke-20 ialah
ucapan yang lumrah diketengahkan
dalam sejarah Sidoarjo, bahwa
suatu jiwa zaman (zeitgeist) membentuk kepribadian
seseorang dan kelompok
masyarakat yang hidup di masa itu. Abad ke-20 bercirikan
nasionalisme serta produk perkembangan-nya, yaitu negara nasion. Maka
berbicara tentang Kabupaten
Sidoarjo tidak lepas dari nasionalisme, dan
sebaliknya perkembangan nasionalisme tidak dapat lepas dari peran kepemimpinan yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo.
Beberapa dasawarsa
menjelang tahun 1900, Sidoarjo mengalami perubahan ekonomi, sosial dan politik sebagai dampak modernisasi seperti pembangunan komunikasi.
Antara lain kereta
api, jalan raya, telepon, telegraf,
industri pertanian dan pertambangan, edukasi dari sekolah rendah
sampai pelbagai pengajaran profesi dalam kedokteran, teknologi pertanian dan lain sebagainya.
Tidak mengherankan apabila timbul peningkatan mobilitas, pendidikan profesi, ekonomi
pasar serta ekonomi keuangan dan lain-lain. Kebingungan rakyat dalam menyikapi perubahan
itu, menciptakan pada rakyat sejak kira-kira pertengahan abad ke-19 pandangan
dunia, seperti gambaran kuno ialah
datangnya Kaliyuga atau
datangnya kiamat (apocalyps).
Kedatangan akhiring
zaman ditandai antara
lain oleh “Pulau
Jawa sudah berkalung besi” atau adanya rel kereta api,
anak yang sudah tahu
nilai uang akibat adanya monetisasi,
anak tidak lagi mematuhi kata
orangtua, dan sebagainya. Adanya kebingungan
berubahnya nilai-nilai, karangan pujangga terakhir
Ranggawarsita maka dalam
serat Kalatida menyatakan “Jamane jaman edan sing ora edan ora keduman... Begja begjane kang lali
luwih begja kang eling lan
waspada.”
Di sini zaman penuh
perubahan nilai-nilai menimbulkan kebingungan,
karena orang kehilangan pegangan sehingga kelakuannya serba aneh (seperti orang gila). Orang tidak jujur
(korup) menjadi kaya dan yang jujur tidak menjadi kaya akan tetapi
yang paling bahagia adalah orang yang tetap ingat (jujur)
serta waspada.
Begitulah perubahan.
Selalu menyisakan kegamangan, namun sekaligus menawarkan harapan akan lahirnya sesuatu
yang baru. Nasionalisme, saat itu menjadi kata yang tiba-tiba
menyedot perhatian
publik. Sama dengan kata globalisasi di awal abad 21 saat
ini. Menurut H Kohn, nasionalisme adalah suatu state of mind and an act of consciousness. Jadi sejarah
pergerakan nasional
harus dianggap sebagai
suatu history of idea. Dari pernyataan
ini secara sosiologis, ide, fikiran, motif, kesadaran harus selalu dihubungkan dengan lingkungan yang konkrit dari situasi sosio-historis.
Pengertian lain dari nasionalisme
dapat disebut sebagai social soul atau “mental
masyarakat”, sejumlah perasaan dan
ide-ide yang kabur”, dan sebagai
a sense of belonging. Dan
beberapa lagi, pengertian nasionalisme yang lain, yaitu merupakan produk atau antitese dari kolonialisme.
Dari berbagai
pengertian di atas tidak terdapat perbedaan
yang mendasar, justru menunjukkan persamaan, yaitu semuanya
lebih bersifat sosio-psikologis. Ini berarti
nasionalisme sebagai suatu bentuk respon yang bersifat sosio-
psikologis tidak lahir dengan sendirinya. Akan tetapi lahir dari suatu respon
secara psikologis, politis, dan ideologis terhadap
peristiwa yang mendahului-nya, yaitu imperialisme atau kolonialisme. Jika
demikian halnya, maka awal terbentuknya nasionalisme lebih bersifat subjektif, karena lebih merupakan reaksi group consciousness, dan berbagai fakta mental lainnya. Dari sekian
jumlah penggunaan istilah di atas,
semuanya merupakan komponen-komponen
keadaan jiwa dan pikiran yang
tidak dijelaskan secara rinci perbedaannya. Dengan demikian, akan mengalami kesulitan
dalam menggunakannya sebagai terminologi maupun konsep analitis untuk
mencari struktur dan sifat-sifat nasionalisme itu sendiri.
Secara analitis, nasionalisme mempunyai tiga aspek yang
dapat dibedakan, pertama aspek
cognitif, yaitu menunjukkan adanya pengetahuan atau pengertian akan suatu situasi atau
fenomena. Dalam hal ini adalah pengetahuan akan situasi kolonial
pada segala porsinya aspek goal/value orientation,
yaitu menunjukkan keadaan
yang dianggap berharga oleh pelakunya.
Nah, yang dianggap
sebagai tujuan atau hal yang berharga adalah, memperoleh hidup yang bebas dari kolonialisme; aspek
affective dari tindakan kelompok menunjukkan situasi dengan
pengaruhnya yang menyenangkan
atau menyusahkan bagi pelakunya. Misalnya berbagai macam diskriminasi
pada masyarakat kolonial melahirkan aspek affective tersebut. Apa yang terjadi di Sidoarjo saat itu?
Tak lain kesadaran
pribumi untuk merdeka,
tidak berada di bawah tempurung kolonial, yang semakin menggelora. Para pelajar Sidoarjo mulai merumuskan impian baru tentang ruang hidup mereka. Para pedagang pribumi yang perannya semakin termarginalisasikan, mulai merasakan kesumpekan. Berdirinya Boedi Oetomo, 1908, Sarekat Islam, NU, Muhammadiyah, Indische Partij, ISDV, PKI dan masih
banyak lagi organisasi lain menjadi gairah baru bagi warga
Sidoarjo untuk memilihnya sebagai payung rasa nasionalisme yang mereka miliki.
Bahkan di negeri Belanda pun para pelajar Indonesia membentuk Perhimpunan Indonesia. Belanda menanggapi secara positif, dengan mengeluarkan Bestuurshervormingswet
pada 1922, yang membuka peluang bagi pembentukan badan-
badan pemerintahan baru dengan mengikut
sertakan lebih banyak lagi keterlibatan bumiputera. Memang,
dari segi historis politik kolonial itu menghasilkan hominies novi atau manusia baru. Yaitu priyayi intelegensia
yang akan berperan
sebagai modernisator atau aktor intelektualis dalam profesionalisme teknologi bidang industri, pertanian, kedokteran, biroktasi, pendidikan, dan sebagainya.
Dalam menyebut
pendidikan sebagai unsur politik kolonial, perlu diketengahkan Politik Etis pada awal abad ke-20 dengan
trilogi pendidikan wanita, biaya pendidikan, dan pendidikan pada umumnya.
Ini langkah
pelaksanaan pidato Ratu Wilhelmina
pada tahun 1901 serta merupakan
perwujudan ekspresi dari edukasi, irigasi, dan emigrasi.
Pada akhir dekade pertama,
saat itu dijumpai kultur baru
di Sidoarjo, berupa life style tersendiri di tengah masyarakat.
Ini sebagai imbas eksisnya
kaum priyayi inteligensia serta pimpinan bangsawan atau kaum aristokrasi yang saat diwakili
oleh organisasi Boedi Oetomo. Maka, selaras dengan kondisi
itu sifat organisasi,
gerakannya tidak mungkin radikal.
Sementara, kaum pedagang
menengah dan penduduk kota
sebagai anggota
Muhammadiyah juga lebih bersifat moderat,
sedang SI yang mencakup
lapisan menengah sampai bawah terdiri atas aneka ragam golongan antara lain golongan petani,
golongan pertukangan industrialis rumah tangga, serta
pedagang kecil. Ada pula penganut ideologi
merupakan campuran antara gerakan tradisional
dan setengah
modern kota. Meskipun masih bercorak
etnonasionalistis, namun
saat itu ditengarai sudah ada komunikasi antara golongan bawah menengah dan
atas. Komunikasi semacam ini, sebenarnya
tidak hanya terjadi di Sidoarjo. Kongres Jong Java pada 3-5 Oktober
1908 di Yogyakarta, adalah contohnya. Bagaimana semangat dan sikap kaum maju
dalam akhir dekade pertama Indonesia
saat itu, dapat diamati
selama kongres tersebut. Sangat menonjol jenis
nasionalisme pertemuan
itu ialah etnosentrisme. Berbagai golongan yang ada di Sidoarjo,
antara lain golongan bangsawan, golongan aristokrasi, dokter, guru,
siswa dari berbagai sekolah seakan
menjadi satu dalam semangat yang sama. Ini semua memberikan makna, bahwa tidak lagi dipatuhi aturan feodal dan
ada komunikasi lebih bebas. Di sini, kita melihat
tanda-tanda permulaan dari demokrasi. Dari substansi pembicaraan terbukti perhatian mereka luas, mencakup
kesejahteraan kehidupan rakyat dan bagaimana mereka menyikapi kebudayaan Barat. Dalam skala nasional, peristiwa yang menarik adalah pidato Soetomo; dialog antara
dokter Tjipto Mangunkoesoemo dan dokter Radjiman
Wedyodiningrat. Dokter Soetomo
mengutarakan keadaan negerinya yang serba terbelakang di berbagai bidang, antara
lain bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, peternakan, perumahan, dan sebagainya. Pidato itu mencakup berbagai
segi kehidupan rakyat yang sangat
komprehensif, tetapi tidak disinggung masalah politik, diskriminasi sosial dan serba tertinggal dalam tingkat pendidikan. Sesuai dengan
tingkat kepri-yayiannya, dokter Soetomo tidak melancarkan kritik terhadap pihak kolonial, masih jauh dari retorik
serta diskusi yang diungkapkan Bung Karno. Sementara
Dokter Tjipto Mangunkoesoemo lebih progresif. Bahwa kemajuan dapat dicapai dengan
menerima dan menyikapi positif proses westernisasi terutama
dalam segi teknologinya. Sebagai visi alternatif, Dokter Radjiman
Wedyodiningrat
mengutarakan bahwa mungkin
lebih baik tetap bersifat konservatif dalam menghadapi westernisasi. Bangsa Indonesia
telah memiliki kultur atau peradaban
sendiri, lebih-lebih dengan perbendaharaan yang cukup kaya raya, khususnya
dalam hal ini pembicara merujuk
kepada kesenian dan Kesusastraan Jawa. Radjiman lebih condong mempertahankan
kebudayaannya sendiri serta
berhati-hati dalam menerima kebudayaan Barat. Sedang dokter Tjipto Mangoenkoesoemo
lebih cenderung menerima westernisasi terutama yang dimaksud
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Rupanya, pada zaman itu kolonialisme semakin kuat sistem dominasinya sehubungan dengan ancaman Perang Dunia II serta ancaman ekspansi Jepang. Pidato-pidato Soekarno semakin lebih tegas menyerang kolonialisme dan imperialismenya negara Barat. Nyatanya, nasionalisme Indonesia pada fase-fase perkembangannya merupakan reaksi sesuai dengan zeitgeist. Dalam menghadapi modernisasi lewat westernisasi oleh para kaum maju, jelas disadari bahwa tidak ada jalan lain daripada mengutamakan edukasi menurut sistem Barat. Berlangsunglah sistem pendidikan semacam itu di Jawa, dan juga Sidoarjo.
Mobilitas penduduk ini tidak bisa total ketika pemuda akhirnya mengetahui apa motif asli Jepang datang ke tanah air. 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu. Sehingga Kaigun, Tentara Laut Jepang, yang berada di sekitar Delta Brantas pusatnya di ujung Surabaya, dengan sembunyi- sembunyi menyerahkan senjatanya kepada pemuda-pemuda kita.
Proklamasi dikumandangkan dwitungal Soekarno-Hatta. Yang patut dicacat adalah bulan-bulan berat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu ketika Belanda yang membonceng kedatangan Sekutu kembali menduduki Sidoarjo.
Sepenggal kisah yang tercatat, ketika Belanda sampai di kawasan Gedangan, Bupati memindahkan tempat pemerintahan kabupaten ke Porong. Hingga 24 Desember 1946, Belanda benar-benar menyerang kota dari jurusan Tulangan. Dalam hitungan jam, Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Segenap jajaran pemerintahan Kabupaten Sidoarjo terpaksa mengungsi ke sekitar Jombang.
Sejak saat itu, Sidoarjo dibawah pemerintahan Recomba. hingga tahun 1949. Di akhir tahun 1948, bukan saja karena Republik yang masih usia balita itu harus menghadapi musuh di depan (Belanda) tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anak- bangsa sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September 1948. Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi) militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu kota Republik, Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota ditangkap.
Rupanya, pada zaman itu kolonialisme semakin kuat sistem dominasinya sehubungan dengan ancaman Perang Dunia II serta ancaman ekspansi Jepang. Pidato-pidato Soekarno semakin lebih tegas menyerang kolonialisme dan imperialismenya negara Barat. Nyatanya, nasionalisme Indonesia pada fase-fase perkembangannya merupakan reaksi sesuai dengan zeitgeist. Dalam menghadapi modernisasi lewat westernisasi oleh para kaum maju, jelas disadari bahwa tidak ada jalan lain daripada mengutamakan edukasi menurut sistem Barat. Berlangsunglah sistem pendidikan semacam itu di Jawa, dan juga Sidoarjo.
Mobilitas penduduk ini tidak bisa total ketika pemuda akhirnya mengetahui apa motif asli Jepang datang ke tanah air. 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu. Sehingga Kaigun, Tentara Laut Jepang, yang berada di sekitar Delta Brantas pusatnya di ujung Surabaya, dengan sembunyi- sembunyi menyerahkan senjatanya kepada pemuda-pemuda kita.
Proklamasi dikumandangkan dwitungal Soekarno-Hatta. Yang patut dicacat adalah bulan-bulan berat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu ketika Belanda yang membonceng kedatangan Sekutu kembali menduduki Sidoarjo.
Sepenggal kisah yang tercatat, ketika Belanda sampai di kawasan Gedangan, Bupati memindahkan tempat pemerintahan kabupaten ke Porong. Hingga 24 Desember 1946, Belanda benar-benar menyerang kota dari jurusan Tulangan. Dalam hitungan jam, Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Segenap jajaran pemerintahan Kabupaten Sidoarjo terpaksa mengungsi ke sekitar Jombang.
Sejak saat itu, Sidoarjo dibawah pemerintahan Recomba. hingga tahun 1949. Di akhir tahun 1948, bukan saja karena Republik yang masih usia balita itu harus menghadapi musuh di depan (Belanda) tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anak- bangsa sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September 1948. Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi) militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu kota Republik, Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota ditangkap.
Sejak itu, Belanda menganggap
Republik sudah tamat riwayat-nya.Akan tetapi, kemenangan militernya itu hanya bersifat sementara. Walaupun
ibu kota Yogya jatuh ke tangan Belanda,
serta berhasil menawan Soekarno-Hatta dengan sejumlah menteri, nyatanya Republik tidak pernah bubar.
Suatu titik balik yang tak terduga oleh Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan. Pertama, dari Yogya dan kedua dari Bukittinggi di Sumatera. Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden membe-rikan mandat Mr Sjafruddin Prawira-negara untuk membentuk Pemerintah-an Darurat RI di Sumatera.
Suatu titik balik yang tak terduga oleh Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan. Pertama, dari Yogya dan kedua dari Bukittinggi di Sumatera. Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden membe-rikan mandat Mr Sjafruddin Prawira-negara untuk membentuk Pemerintah-an Darurat RI di Sumatera.
Jika ikhtiar ini gagal,
mandat diserahkan kepada Dr Soedarsono, Mr Maramis dan Palar untuk membentuk exile-
government di New Delhi, India. Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat
“dikawatkan” karena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan
Belanda. Namun, naskah-nya dalam bentuk ketikan sempat beredar di kalangan
orang Republieken. Kedua, sewaktu mengetahui
via radio bahwa Yogya diserang, Mr Sjafruddin
Prawiranegara waktu itu Menteri Kemakmuran
yang sedang
bertugas di Sumatera, segera mengumumkan
berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan Yogya, melainkan atas inisiatif spontan, Sjafruddin dengan pemimpin setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan sebagai pemerintah alternatif bagi Republik yang tengah menghadapi koma.
Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan Yogya, melainkan atas inisiatif spontan, Sjafruddin dengan pemimpin setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan sebagai pemerintah alternatif bagi Republik yang tengah menghadapi koma.
Sidoarjo pun menghadapi kondisi serupa. Namun, sebagaimana
mereka yang jauh dari sentrum
kekuasaan, di sini cuma bisa menunggu
perkembangan. Perang tentu
saja terjadi, yang mengubur
darah segar para pribumi yang
tiba- tiba jadi pejuang perbaik untuk bangsanya.
Pasca penyerahan
kembali kedaulatan kepada Pemerintah
Republik Indonesia, R. Soeriadi Kertosoeprojo menjabat sebagai Bupati. Entah mengapa, pada periode ini muncul ‘pemberontakan daerah’ yang
dilakukan oleh bekas kepala desa
Tromposari, Kecamatan Jabon, Imam Sidjono alias Malik.
Dia memobilisasi dukungan dengan mengajak lurah-lurah untuk menggulingkan bupati. Dengan senjata bekas kepunyaan KNIL, gerombolan ini berhasil menguasai Gempol, Bangil, hingga Pandaan. Mereka juga gigih mengadakan infiltrasi ke seluruh sudut kabupaten. Sekitar pertengahan Mei 1951, perlawanan Malik sedikit demi sedikit berhasil diredam setelah ia tertangkap di Bangil. Operasi kontinyu dari aparat, akhirnya berhasil menangkap para pengikut Malik hingga keamanan berangsur kondusif lagi.
Dia memobilisasi dukungan dengan mengajak lurah-lurah untuk menggulingkan bupati. Dengan senjata bekas kepunyaan KNIL, gerombolan ini berhasil menguasai Gempol, Bangil, hingga Pandaan. Mereka juga gigih mengadakan infiltrasi ke seluruh sudut kabupaten. Sekitar pertengahan Mei 1951, perlawanan Malik sedikit demi sedikit berhasil diredam setelah ia tertangkap di Bangil. Operasi kontinyu dari aparat, akhirnya berhasil menangkap para pengikut Malik hingga keamanan berangsur kondusif lagi.
“Dari Arak Api hingga Terpisahnya
Anak-Isteri”
Manisnya gula tak semanis sejarahnya. Ada politik saling menelikung, ada pedihnya penderitaan petani tebu, dan ada senggol menyenggol kepentingan ekonomi. Sejarah berdirinya pabrik-pabrik gula di Sidoarjo, bak ungkapan tadi. Dinding- dinding tebal berlumut PG Watoetoelis, PG Toelangan, PG Kremboong dan PG Krian, menjadi saksi bisu, betapa kompleksnya persoalan di balik bulir-butir putih nan manis, yang melengkapi secangkir kopi, teh atau susu itu, agar rasanya membuat lidah bergoyang. Memang pada akhirnya, kita hanya bisa tergagap. Betapa gemilangnya dunia pergulaan berubah meredup. Bill Guerin, kolomnis Asia Times, memaparkan bahwa saat ini, secara makro industri gula nasional telah hancur. Padahal, pada era kolonial, Jawa pernah mengalami masa keemasan bahkan termasuk terbesar kedua di dunia, setelah Kuba. Analisis yang bernada kelakar, barangkali dikarenakan tanaman tebu gula atau suikerriet bukan tanaman asli Indonesia, sehingga tidak betah memberi kontribusi besar di tanah yang bukan kelahirannya. Namun, di negeri asalnya sendiri, India Timur dan Pasifik selatan, ternyata tebu juga tidak juga dijadikan idola yang menghasilkan kekayaan berlebih.
Manisnya gula tak semanis sejarahnya. Ada politik saling menelikung, ada pedihnya penderitaan petani tebu, dan ada senggol menyenggol kepentingan ekonomi. Sejarah berdirinya pabrik-pabrik gula di Sidoarjo, bak ungkapan tadi. Dinding- dinding tebal berlumut PG Watoetoelis, PG Toelangan, PG Kremboong dan PG Krian, menjadi saksi bisu, betapa kompleksnya persoalan di balik bulir-butir putih nan manis, yang melengkapi secangkir kopi, teh atau susu itu, agar rasanya membuat lidah bergoyang. Memang pada akhirnya, kita hanya bisa tergagap. Betapa gemilangnya dunia pergulaan berubah meredup. Bill Guerin, kolomnis Asia Times, memaparkan bahwa saat ini, secara makro industri gula nasional telah hancur. Padahal, pada era kolonial, Jawa pernah mengalami masa keemasan bahkan termasuk terbesar kedua di dunia, setelah Kuba. Analisis yang bernada kelakar, barangkali dikarenakan tanaman tebu gula atau suikerriet bukan tanaman asli Indonesia, sehingga tidak betah memberi kontribusi besar di tanah yang bukan kelahirannya. Namun, di negeri asalnya sendiri, India Timur dan Pasifik selatan, ternyata tebu juga tidak juga dijadikan idola yang menghasilkan kekayaan berlebih.
Baiklah, mari kita
tengok sejarahnya. Konon,
penyebaran tebu gula dimulai oleh para pedagang Tionghoa
dan Arab yang berlayar hingga
ke Jawa
sekitar abad ke-8. Kala itu,
air tebu merupakan barang mewah,
yang konsumennya
hanyalah segelintir elite yang memiliki
privilege saja.
Sampai abad ke-15, masyarakat Jawa umumnya masih memakai jenis pemanis lain, seperti madu dan tanaman umbi- umbian. Hingga kemudian hadirnya tanaman kopi, teh dan coklat yang dibawa oleh kolonialis Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda maka air tebu menjadi kebutuhan pokok, sebagai pemanis minuman dari bahan tanaman itu.
Apalagi setelah orang-orang Tionghoa menemukan alat
Sampai abad ke-15, masyarakat Jawa umumnya masih memakai jenis pemanis lain, seperti madu dan tanaman umbi- umbian. Hingga kemudian hadirnya tanaman kopi, teh dan coklat yang dibawa oleh kolonialis Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda maka air tebu menjadi kebutuhan pokok, sebagai pemanis minuman dari bahan tanaman itu.
Apalagi setelah orang-orang Tionghoa menemukan alat
pengepres tebu yang
kemudian ditiru prototipenya oleh Portugis dan Spanyol, yang berekspansi ke Hindia Barat dan
Amerika Selatan. Sejak itulah gula muncul menjadi barang dagangan yang dikonsumsi luas terutama di daratan Asia dan Eropa.
Perkembangan pengepresan tebu di
Jawa, secara profesional dimulai di Batavia, pada awal abad ke-17 dengan
pengelola warga Tionghoa.
Sebuah buku yang secara sekilas
mengupas kisah keberhasilan dagang kaum bermata bermata
sipit ini adalah
“Ni Hoe Kong
Kapitein Tionghoa di Betawie dalem tahon 1740,”
yang ditulis
Hoetnik tahun 1923. Syahdan, Ni Hoe Kong adalah orang kaya yang tinggal di sekitar Ommelanden, Batavia Selatan. Ia terpilih
sebagai Kapitein Tionghoa di Batavia tahun 1740. Pengertian
Kapitein dalam tulisan Hoetnik, barangkali semacam pemimpin sosial dan bukan gelar kepangkatan dalam bidang
kemiliteran. Saat itu, syarat seorang diangkat jadi Kapitein adalah kaya
raya. Dan agaknya,
di antara kalangan kongometat Tionghoa lainnya, Ni Hoe Kong termasuk yang paling pantas mendapatkan gelar itu. Ia adalah pemilik banyak tanah dan 14 penggilingan
tebu, yang disewakannya ke warga Tionghoa
yang lain. Para konglomerat
Tionghoa itu tidak lupa menggandeng
para pejabat VOC yang juga pedagang
besar. Mereka terlibat dalam membiayai penggilingan-penggilingan tebu ini. Bahkan, VOC mulai melakukan pengiriman gula Batavia sejak 1637 ke Eropa, dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari 10.000 pikul. VOC biasanya membeli
dari para Tionghoa, dengan harga setiap
pikul antara empat hingga enam rijksdaalder tergantung kualitasnya. The World’s Cane Sugar Industry
Past & Present karya Geerligs, menjelaskan, bahwa sayangnya awal yang
begitu baik ini tidak didukung
kemampuan dalam melakukan kompetisi
pasar. Ketika
India, koloni Inggris, juga memasok
gula ke Eropa, VOC surut dari percaturan perdagangan gula.
Penggilingan yang aktif
merosot menjadi hanya tinggal sepuluh buah pada tahun 1660.
Mundurnya VOC dari perdagangan gula ke Eropa, tidak
serta merta mengendurkan semangat warga
etnis Tionghoa. Mereka tetap gigih mengusahakan pengepresan gula, hingga
tercatat pada tahun 1710
tercapai jumlah sekitar 130 buah
penggilingan, dengan produksi rata-rata
setiap penggilingan kurang lebih 300 pikul.
Meskipun demikian pada masa-masa selanjutnya
terjadi
pasang surut pada jumlah penggilingan maupun produksinya.
Seperti dalam tahun 1745, terdapat 65 penggilingan sedang
pada 1750 naik menjadi 80, dan di akhir abad ke-18 merosot tinggal 55 penggilingan yang memasok sekitar
100.000 pikul gula. Wajar jika pertanyaan
muncul, apa yang menyebabkan jumlah penggilingan di atas
mengalami pasang-surut sangat drastis?
Ada kemungkinan karena sederhananya penggilingan atau pengepres gula tersebut sehingga
dapat dipindah- pindahkan. Elson, dalam The Impact of Governement Sugar Cultivation
in the Pasuruan Area, East Java, During the Cultivation System Period mengungkapkan, bentuk dan teknologi pengepres tebu ini,
hanya terdiri dari dua buah
selinder batu atau kayu yang diletakkan berhimpitan, dengan salah satu selinder
diberi tonggak sedang pada ujung tonggak diikatkan ternak, atau digunakan tenaga manusia
untuk memutar selinder. Sementara itu pada salah satu sisi pengepres biasanya satu orang atau lebih memasokkan
tebu. Kemudian hasil pengepresan dialirkan ke kuali besar yang
terletak tepat di bawah selinder. Mudah pengoperasiannya dan dapat dipindah - pindahkan menurut kebutuhan. Di masa
panen tebu, penggilingan-penggilingan ini akan dibawa menghampiri kebun yang sedang panen. Sedang tenaga kerja yang
digunakan penggilingan penggilingan Tionghoa ini, dikerahkan buruh-buruh etnis Tionghoa yang sangat banyak, dan buruh-buruh Jawa yang didatangkan dari karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah,
terutama dari Cirebon,
Tegal dan Pekalongan. Hoetink memperkirakan, dari segi politis, berlimpahnya populasi komunitas Tionghoa
di sekitar Batavia ini belakangan
membuat komunitas
Eropa ketakutan. Sehingga di tahun 1740,
terjadi ‘pembasmian’ orang-orang Tionghoa. Ada dua dugaan tentang
sebab-sebab merosot hingga berakhirnya penggilingan-penggilingan ini. Pertama, diajukan
oleh Knight yang melihat
bahwa, faktor-faktor ekologis cukup
besar pengaruhnya sehingga menyebabkan keruntuhan industri gula Ommelanden.
Sebagaimana diketahui, dalam proses
pemasakan gula sangat banyak diperlukan kayu bakar. Rupa-rupanya
orang- orang Tionghoa,
dalam periode hampir seabad, telah dengan
sangat intensif, menggunduli pohon-pohon dan
fertilitas dataran
rendah Batavia. Sedang dugaan lain dapat
diikuti dari Geschiedenis van de suiker op Java atau
Sejarah Gula di Jawa, yang
memberi sepenggal informasi yang menyatakan bahwa penggilingan
ommelanden sangat tergantung pada modal yang disediakan
oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie. Kumpeni begitu orang Jawa mengatakan, setiap tahunnya
menyediakan dana untuk uang panjar atau persekot
sebesar 8.000 gulden.
Dan bantuan keuangan ini terhenti dengan terjadinya peperangan di Eropa yang dikomando Napoleon Bonaparte dari Prancis. Kedua dugaan tersebut bisa
jadi saling berkorelasi. Meskipun
dugaan yang pertama akan sulit untuk dibuktikan,
karena belum ada penelitian untuk mendukung pendapat tersebut.
Sedang pendapat kedua mungkin lebih
mendekati kebenaran. Sebab berhentinya penggilingan-penggilingan Tionghoa
ini juga bersamaan waktunya ketika VOC bubar di
akhir abad 18. Namun demikian,
bagaimanapun juga, gula atau sirup tetap
menjadi barang-dagangan yang dikonsumsi oleh masyarakat
Eropa yang bermukim sementara
waktu di Jawa dan pesisir
Asia Tenggara dan Timur. Karena, selain gula dipergunakan sebagai
pencampur minuman kopi,
coklat dan teh, tetes atau gula kental pun dapat
diolah melalui fermentasi
tertentu, diubah menjadi arak atau
rum. Sehingga, meskipun industri ommelanden runtuh di akhir
abad 18, tidak mematikan
bisnis penggilingan gula yang mulai
muncul di tempat-tempat lain. Arak dan rum menjadi
hampir separuh produksi ommelanden. Setelah industri gula Batavia ini runtuh, produksi
arak dilanjutkan oleh para pedagang-besar
Inggris pada perkebunan Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat. Dalam tahun 1820-an,
dua buah penggilingan milik Tionghoa yang
berada di Karesidenan Pekalongan, yang memproduksi sekitar 1800 pikul gula setiap tahunnya,
mengirimkan empat per lima produksi tetes-nya atau sekitar 1.440 pikul ke Batavia
dan Semarang untuk disuling menjadi
rum. Penyulingan rum menyurut
dengan runtuhnya industri gula yang dikelola
para pedagang besar Inggris di akhir 1820-an. Raffles dalam The history of Java tahun 1817, bahkan pernah memuji arak buatan Jawa. Ia mensejajarkan arak Jawa dengan arak buatan
Filipina. Disebutkannya, bahwa arak nomor satu produksi
Jawa terkenal dengan julukan arak api. Pada kurun cultuurstelsel,
arak hanya diproduksi oleh beberapa pabrik, antara lain
Wonopringo, Pekalongan.
Menurut Geerligs, merosotnya produksi rum dan arak, karena
dianggap telah tidak menguntungkan
untuk dijual. Di Eropa produksi rum dan arak sangat melimpah, sehingga harganya merosot. Gula masih tetap diproduksi oleh orang-orang Tionghoa di sepanjang karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa
Timur atau Oosthoek. Namun, kedudukan para pengolah gula terlalu lemah, sehingga pada saat terjadi meningkatnya per-mintaan gula, manufaktur-manufaktur yang
dikelola oleh orang-orang Tionghoa
ini dirampas oleh orang-
orang Eropa. Dan kemudian
dikelola dengan cara sewa desa, yaitu
desa-desa dilepaskan dari kekuasaan para bupatinya, antara 3 sampai 10 tahun.
Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, menulis, ternyata ketika kurun pemerintahan Daendels, 1808- 1811, sistem sewa desa ini pernah dicoba untuk dihapuskan. Tetapi penghapusan sewa desa ini pun dikenakan pada desa- desa yang memproduksi barang yang tidak menguntungkan gubernemen. Sedang desa-desa penghasil nila dan tebu gula yang menggunakan sistem sewa desa, masih tetap dipertahankan.
Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, menulis, ternyata ketika kurun pemerintahan Daendels, 1808- 1811, sistem sewa desa ini pernah dicoba untuk dihapuskan. Tetapi penghapusan sewa desa ini pun dikenakan pada desa- desa yang memproduksi barang yang tidak menguntungkan gubernemen. Sedang desa-desa penghasil nila dan tebu gula yang menggunakan sistem sewa desa, masih tetap dipertahankan.