KERIS PEMBERONTAKAN SANG ADIPATI
Umpama Adipati Jayenggrana pejabat yang “sendiko
dawuh” pada Sri Sunan
Pakubuwono dan Belanda, bisa jadi
Sidoarjo masih berada di wilayah
administrasi Surabaya dan
masih bernama Sidokare.
Tetapi karena sang Adipati memilih
mengambil jarak dengan
dua penguasa itu, maka ia terbunuh
di usia muda.
Dengan terbunuhnya Jayenggrana Belanda memecah wilayah Surabaya. Dan salah satunya pecahannya berbentuk
kabupten Sidoarjo. Kelahiran “jabang bayi” Sidoarjo tidak
butuh jalan yang berpilin.
Cukup dengan dua lembar surat
keputusan Belanda.
Satu surat untuk menyatakan sebagai Kabupaten dan surat
lain untuk mengubah nama
dari Sidokare menjadi Sidoarjo. Untuk memerintah kabupaten baru ini diangkatlah Notopuro
(R.T.P Tjokronegoro) yang berasal dari Kasepuhan Surabaya
sebagai Bupati
pertama.
Sidoarjo merupakan
basis ekonomi pertanian yang sangat
kuat. Terbukti
dengan beberapa pabrik gula dan beberapa jalur
rel kereta api di Sidoarjo.
Keberadaan pabrik gula ini memang
membuat Sidoarjo sebagai kekuatan ekonomi, tetapi juga menyisakan permasalahan yang berbuntut perlawanan dari penduduk Sidoarjo.
Akhir abad ke
17 Surabaya
menjadi kadipaten yang mempunyai wilayah
kekuasaan yang luas.
Pada waktu itu kadipaten ini mencakup daerah Pasuruan, Madura, sebagian Kalimantan bagian selatan, Sedayu, Bojonegoro dan Sidoarjo (yang pada saat itu
bernama kawedanan Sidokare). Secara administratif Surabaya berada di bawah kekuasaan
Kasunanan Surakarta Hadinigrat. Seperti yang telah diketahui
setelah perjanjian Giyanti, pulau Jawa dikuasai oleh dua kerajaan besar yang
dalam istilah Belanda di sebut
Vorstenlanden. Masing-masing adalah Kasultanan Yogyakarta
dan Kasunanan Surakarta.
Surabaya adalah kota yang penuh dengan catatan-catatan pemberontakan. Dan hampir semua pemberontakan itu padam
setelah pemimpinnya terbunuh atau dibunuh.
Sebut saja pemberontakan Pangeran Pekik (Adipati
Surabaya yang diangkat Mataram), pada tahun 1625 Surabaya ditaklukkan Mataram yang pada waktu itu di perintah Amangkurat 1. Penaklukan ini dilakukan
sebagai hukuman terhadap Pangeran Pekik
yang dianggap ingin mendirikan Surabaya menjadi daerah yang otonom dari Mataram dan Belanda.
Pemberontakan selanjutnya adalah
Trunojoyo seorang pangeran dari
Madura. Dalam proses pemberontakannya Trunojoyo berhasil mengendalikan
dan menguasai
daerah pesisir utara sampai dengan
lereng Kelud. Semua pemberontakan itu mengarahkan taringnya pada Kasunanan Solo yang dianggap lemah terhadap Belanda. Pemberontakan-pemberontakan ini tidak berasal dari kalangan borjuis saja, pada tahun 1671 Untung Soerapati, seorang kebanyakan,
melakukan pembangkangan dengan mengobarkan perang dari Pasuruan.
Untung Surapati ini bisa
dikatakan berhasil dari pada pemberontakan
sebelumnya. Karena ia tidak saja
mampu bertahan lama (1686 -1706)
, tapi juga bisa mendirikan
sebuah pemerintahan mandiri yang lepas dari pengaruh Surakarta dan Surabaya. Bahkan
ia berhasil
mengusir kedudukan Tumenggung Onggojoyo di Pasuruan di
tahun 1686.
“Pembangkangan Adipati”
Adipati Jayenggrana
adalah putra dari Onggowongso, Tumenggung Surabaya yang masih saudara kandung dari Tumenggung Onggojoyo
di Pasuruan. Jayenggrana (atau juga di sebut Janggrana) selain merupakan
cucu langsung dari Ki
Ageng Brondong dan
juga masih paman tokoh pemberontak
Sawunggaling.
Kraton Kasunan Surakata
Sebagai titik awal pemberontakan Jayanegara
|
Sejak awal adipati
muda ini mengambil jarak dengan pihak Keraton Kasuhunan
Surakarta.Hal ini karena Sunan Paku
Buwono bersikap lemah terhadap Belanda. Karenanya ia juga
bersikap lemah kepada
setiap pemberontakan yang ditujukan
ke Surakarta. Ketika Untung Surapati
mengamuk dan menguasai Pasuruan, Adipati Jayenggrana tidak ambil pusing,
bahkan cenderung membiarkan. Juga ketika pemberontakan
ini menguncang kedudukan Tumenggung
Onggojoyo yang tak lain adalah paman dari Adipati
Jayenggrana sendiri.
Sikap Adipati Jayenggrana
yang non kooperatif ini membuat Belanda dan Kasuhunan kerepotan. Apalagi dengan
lemahnya sikap Jayenggrana kepada pemberontakan Untung
Surapati yang terang-terangan menantang kekuasaan Surakarta dan Belanda
dengan mendirikan kerajaan di Pasuruan. Kedua pihak itu menganggapnya
sebagai orang yang pantas disingkirkan. Pada tahun 1706 pemberontakan Untung Surapati berakhir dengan tewasnya
tokoh tersebut dalam perangan melawan Belanda di daerah Bangil. Dengan tumpasnya pemberontakan
itu, tiga tahun kemudian, tepatnya pada 7 Februari
1709 Kompeni Belanda memaklumatkan dua tuntutan kepada Adipati Jayenggrana, yaitu; Pertama, Penyerahan kekuasaan
atas daerah Wirosobo dan Japanan. Kedua, pencabutan hak
atas daerah Sedayu dan Jipang (Bojonegoro).
Adipati Jayenggrono menolak dua tuntutan itu. Karena ia tahu tujuan dari
Belanda adalah mempersempit daerah kekuasaan
Surabaya atas wilayah-wilayah diatas. Karena
dengan luasnya daerah Surabaya akan menimbulkan kesulitan bagi Belanda untuk
mengontrolnya selain juga bertujuan memperkecil peran
Adipati Jayenggrana secara politis.
Penolakan ini dianggap
sebagai sebuah pembangkangan terhadap
Kasuhunan dan Belanda. Dengan demikian Belanda
membariskan serdadunya untuk menggempur Surabaya.
Jika Belanda ingin menghukum Adipati Jayenggrana
dengan kekerasan, tidak demikian dengan Keraton Surakarta.
Karena jika memahami tipikal orang
pesisir, penyikapan dengan kekerasan akan menimbulkan
kekerasan baru. Pada tanggal
26 Februari 1709 Adipati Jayengrana di panggil untuk menghadap Sunan Pakubuwono.
Kawasan Pantai Pasuruan Daerah yang pernah dikuasai untung Suropati |
Ternyata ini adalah taktik Kasuhunan untuk menyingkirkan
Sang Adipati. Di kisahkan
oleh Dukut Imam Widodo dalam buku Surabaya Tempo Doeloe, Adipati Jayenggrana
memenuhi panggilan itu dengan berpakaian putih-putih dan
berpengiringkan sekitar
empat puluh orang saja. Sesampai di
keraton, Adipati
Jayenggrana memasuki keraton seorang diri
setelah memerintahkan para pengiringnya menunggu di alun-
alun.
Pada jam sembilan pagi
saat Jayenggrana akan melintasi gerbang tiba- tiba muncul belasan perajurit
Kasunanan yang mengepung dan menyerangnya hingga menemui ajal. Bersamaan dengan itu
ratusan prajurit lain mengepung pengiring Jayenggrana yang ketahuan mulai beringas melihat
junjungannya mati. Adipati
Jayenggrana terbunuh pada usia 34 tahun. ***
Bersambung................