PASAR BESAR BERNAMA JENGGALA
Candi Pari
Porong sidoarjo
( Berfungsi sebagai lumbung padi)
|
Kata Jenggala di percaya berasal dari ucapan salah untuk Ujung Galuh. Walaupun saat ini Ujung Galuh lebih menunjukkan suatu tempat di Surabaya atau
Tuban. Tetapi
untuk
hubungan kalimat Jenggala dengan Ujung Galuh bisadilihat dari catatan
Pedagang China yang menuliskan Jenggala
dengan Jung-ga-luh. Misalnya
pedagang Chou ku fei yang datang
pada tahun 982 Saka (1060
M) menuliskan:
Negara asing yang merupakan
lumbung padi terbesar saat itu
adalah Jung-ga-luh (Jenggala) dan San-fo-tsi (Sriwijaya).
Raja-raja Jenggala di antaranya
Lembu Amiluhung (Sri Jayantaka). Sri Jayantaka adalah putra
Airlangga dari selir. Ia
mulaimemerintah di Jenggala
mulai tahun 1042 M. Pada
masa pemerintahannya, Jenggala mengalami jaman keemasan
sekaligus jaman kecemasan.
Dikatakan jaman keemasan
karena pada masa itu Jenggala
mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari
hasil Bandar Dagang
Porong. Sementara dilain pihak Jenggala juga di cemaskan
oleh ancaman serangan oleh Dhaha bila Bandar
dagang itu tidak diserahkan ke Dhaha. Kecemasan itu cukup
beralasan mengingat kekuatan militer
Dhaha lebih kuat dari pada
Jenggala.
Raja
lainnya adalah Sri Maharaja Mapanji Garasakan (1044 - 1052). Pada masa pemerintahan Mapanji Garasakan, kerajaan Jenggala mengalami
kemunduran akibat serangan dari Dhaha yang
saat itu diperintah oleh Kameswara
1 (Inu Kertapati). Karena serangan itu pusat kerajaan Jenggala di tarik lebih ke Utara, diperkirakan sekarang berada di daerah Lamongan. Bukti perpindahan pusat kerajaan
itu dapat dilihat pada Prasasti Kembang Putih,
Malengga yang ditemukan di daerah
Tuban. Pada periode
selanjutnya kerajaan Jenggala beribukota di Lamongan.
Tibalah Mapanji Alanjung Ahyes berkuasa (1052 - 1059). Jenggala di bawah Mapanji Alanjung Ahyes tetap berpusat
di Lamongan. Pada masa pemerintahannya
sering di lancarakan serangan secara sporadis kepada pendudukan Dhaha. Sri Samarotsaha adalah raja Jenggala terakhir
sebelum kerajaan itu hilang
dari pengamatan sejarah. Pusat kerajaan
tetap di daerah Lamongan.
Setalah tahun 1059 keberadaan Jenggala seperti hilang di telan bumi. Batas kerajaan Jenggala adalah
sesuai dengan batas Kerajaan
Kahuripan sebelah utara. Dalam hal ini batas daerah
kekuasaan Jenggala meliputi
Timur
(Bali), Tenggara (Pasuruan), Barat daya (Kudus)
“Jenggala di Sidoarjo?”
Sebenarnya dalam proses penulisan sejarah Jenggala kita akan terbentur pada
pertanyaan, Dimanakah letak kraton Kerajaan Jenggala? Apakah di Sidoarjo ataukah di kota lain ? Sebab ada beberapa fakta yang mendukung rentetan pertanyaan itu. Di antara pertanyaan itu; Satu, belum ditemukannya situs- situs sejarah yang
menyatakan kraton Jenggala berada di Sidoarjo.
Kedua, tidak adanya pernyataan dari kitab-kitab kuno bahwa kraton
Jenggala ada di Sidoarjo. Ketiga, adanya klaim dari beberapa tempat diluar daerah Sidoarjo yang menyatakan
sebagai kraton Jenggala,
misalnya Prasasti Kembang putih yang ditemukan di Lamongan. Sebagai sebuah
catatan : istilah
Jenggala pada awalnya adalah untuk menunjukkan sebuah tempat, Ujung Galuh, dan baru dipakai
menjadi nama kerajaan setelah peristiwa
pembelahan Kahuripan. Untuk menentukan di mana
letak
kutaraja (kraton) Jenggala, tulisan ini menggunakan
masa pemerintahan Sri jayantaka sebagai rujukan, yang mana kraton Jenggala
ditempatkan di wilayah Sidoarjo.
Adapun pertimbangannya adalah karena pada masa Sri Jayantaka yang Cuma tiga tahun itu, kerajaan Jenggala masih merupakan sebuah struktur pemerintahan yang otonom dan aktif. Artinya Jenggala pada waktu itu masih punya wilayah, pusat pemerintahan, pusat militer, fasilitas umum dan masih memegang kendali perkembangan Bandar dagang di sungai Porong.
Adapun pertimbangannya adalah karena pada masa Sri Jayantaka yang Cuma tiga tahun itu, kerajaan Jenggala masih merupakan sebuah struktur pemerintahan yang otonom dan aktif. Artinya Jenggala pada waktu itu masih punya wilayah, pusat pemerintahan, pusat militer, fasilitas umum dan masih memegang kendali perkembangan Bandar dagang di sungai Porong.
Sedangkan untuk masa setelah
Sri Jayantaka, Jenggala lebih berbentuk komunitas-komunitas
kecil yang tersebar di beberapa daerah di Jawa
Timur. Termasuk juga pada pemerintahan Mapanji Garasakan dan
Alanjung ayes yang masih memimpin perlawanan terhadap Kediri secara sporadis. Selain merujuk pada masa pemerintahan
Sri Jayantaka, fakta lain yang
menunjukkan hubungan Sidoarjo dengan Jenggala
adalah; Pertama, sebuah tulisan dari
Kitab Negarakertagama yang menceritakan perjalanan dinas Hayam
Wuruk untuk meninjau tiga
daerah yang berdekatan yaitu Jenggala, Surabaya dan Bawean. Adapun kalimat dalam kitab
tersebut adalah: Yen ring Jenggala
ki sabha nrpati ring Curabhaya
melulus mare Buwun (Jika
raja berada di Jenggala,
beliau pasti mengunjungi Surabaya sebelum ke Bawean).
Kedua, pada masa pemerintahan
Mataram, wilayah Sidoarjo masih di
sebut Jenggala. contohnya kawedanan di Sidoarjo diistilahkan
Jenggala 1, Jenggala 2 dan seterusnya.
Dengan beberapa fakta di
atas bisa dikatakan bahwa kraton
Jenggala pada mulanya
ada wilayah
Sidoarjo. Pertanyaan selanjutnya adalah di
wilayah Sidoarjo sebelah manakah kraton Jenggala berdiri ? Ada beberapa pendapat yang berlainan mengenai keberadaan kraton Jenggala.
tulisan ini hanya menghimpun pendapat-pendapat itu. Menurut buku sejarah
Sidoarjo yang di himpun PAPENSE (Panitia Penggalian Sejarah Sidoarjo, tahun 1970), letak kraton
dari Jenggala berada di sekitar sungai Pepe. Hal ini dibuktikan
dengan penemuan beberapa arca di lokasi itu. Pada saat ini lokasi yang diyakini kraton Jenggala itu berada di wilayah Kecamatan Gedangan. Lain halnya dengan Totok Widiardi yang menyatakan
bahwa kraton Jenggala berada di sekitar alun-alun. Tepatnya berada di lokasi yang kini menjadi rumah dinas Bupati Sidoarjo. Pendapat ini mendasarkan bukti tentang adanya patung
katak raksasa dan arca Bathara Ismaya (Semar) yang masih berada di sana hingga tahun 1975.
Sampai saat ini kepastian
di mana persis nya posisi kraton
Jenggala masih misterius.
Karena selain tidak adanya penelitian untuk itu juga belum ditemukannya situs purbakala
yang menunjukkan bekas Kraton Jenggala.
Di tambah
lagi tidak adanya kitab-kitab peninggalan Jenggala.
“Pusat-Pusat Militer"
Sebenarnya kurang tepat bila disebut pusat militer, karena sebenarnya konsentrasi militer Jenggala (yang bisa terlacak saat ini) lebih bertujuan mengamankan Kutaraja (kraton) Jenggala.
Stasiun Wonokromo |
Di sebelah Utara, militer
Jenggala terpusat di daerah Wonokromo, Surabaya. Mengingat garis pantai
pada saat itu adalah Wonokromo.
Tujuan penempatan militer di posisi ini
adalah untuk menghadang musuh dari utara. Selain
itu juga berfungsi untuk mengawasi
orang-orang hukuman (straafkoloni) yang di Surabaya. Perlu diketahui bila Surabaya
mulai jaman Mataram
Hindu (abad 9) sudah menjadi semacam
“Nusa Kambangan” bagi para orang
buangan. Komunitas perantaian yang di buang di situ terdiri
dari narapidana, orang
gila, cacat mental, cacat jasmani, tawanan perang dan perampok.
Di sektor
tengah pusat militer Janggala diperkirakan berada
di daerah Larangan (sekarang wilayah Kecamatan Candi). Peristiwa yang mendukung perkiraan itu adalah penemuan beberapa benda purbakala pada saat penggalian pondasi untuk
Pasar Larangan yang terjadi di
tahun 1980-an. Benda-benda purbakala
itu berbentuk Binggal (gelang lengan), pedang, perhiasan dan rompi perang. Dari
penemuan benda-benda keprajuritan itu beberapa
orang sejarahwan menyimpulkan bahwa daerah Larangan dulunya merupakan komplek militer
Jenggala. Walau pun hal itu harus dibuktikan
dengan penelitian yang lebih
lanjut, tetapi setidaknya akan membantu
kita merekonstruksi komplek kraton Jenggala.
Di sebelah Selatan Jenggala
menempatkan Miiternya di daerah Gempol. Tentu saja hal ini di maksudkan untuk melindungi asset ekonomi kerajaan
Jenggala yaitu Bandar dagang Porong. Karena
bagaimana pun juga bandar dagang
ini merupakan keuntungan geografis yang
menyumbang income terbesar bagi dana kerajaan. Selain itu juga dimaksudkan untuk mempertahankan Kutaraja dari serangan
musuh yang datang dari selatan,
terutama Kediri yang terang-
terangan menuntut hak kepemilikan bandar dagang di Porong.
Beberapa pusat aktifitas Jenggala lainnya di antaranya diperkirakan dari proses persamaan kata (lingua franca). Dari proses persamaan kata ini, kita akan mendapati beberapa fakta bahwa pusat IPTEK Kerajaan Jenggala diperkirakan di kawasan kecamatan Taman. Tempat rekreasi bagi bagi putra- putri kerajaan diperkirakan di daerah Tropodo. Sementara itu Perpustakaan Kerajaan Jenggala (dalam sebuah riwayat di sebut Gedung Simpen) berada di Desa Entalsewu, Kecamatan Buduran. Sebuah sumber menyatakan lokasi perpustakaan ini berdasarkan lingua franca, kata Ental dengan TAL. Tal adalah sejenis pohon yang daunnya digunakan menjadi alat tulis- menulis, adapun daun pohon Tal secara jamak disebut RONTAL (Ron; daun, Tal; pohon Tal). Sedangkan kata sewu (seribu) dibelakangnya lebih menunjukkan jumlah yang banyak. Menurut sumber itu TAL SEWU berarti menunjukkan jumlah naskah-naskah yang banyak di sebuah tempat.
Masih berdasar lingua franca, pusat religi dan spiritual Jenggala diperkirakan berada di kawasan Buduran. Sebuah sumber mengkaitkan ini dengan kata Budur yang dalam Sansekerta berarti Biara. Kata Budur yang berarti biara ini bisa kita lihat dari kata Borobudur yang berarti biara yang tinggi (Boro: tinggi, Budur: Biara). Bila kata Budur ber-lingua franca dengan biara, maka Buduran berarti sebuah komplek berkumpulnya satu atau lebih biara. Dengan kata lain Kecamatan Buduran di masa Jenggala adalah pemukiman bagi pemuka-pemuka agama.
Beberapa pusat aktifitas Jenggala lainnya di antaranya diperkirakan dari proses persamaan kata (lingua franca). Dari proses persamaan kata ini, kita akan mendapati beberapa fakta bahwa pusat IPTEK Kerajaan Jenggala diperkirakan di kawasan kecamatan Taman. Tempat rekreasi bagi bagi putra- putri kerajaan diperkirakan di daerah Tropodo. Sementara itu Perpustakaan Kerajaan Jenggala (dalam sebuah riwayat di sebut Gedung Simpen) berada di Desa Entalsewu, Kecamatan Buduran. Sebuah sumber menyatakan lokasi perpustakaan ini berdasarkan lingua franca, kata Ental dengan TAL. Tal adalah sejenis pohon yang daunnya digunakan menjadi alat tulis- menulis, adapun daun pohon Tal secara jamak disebut RONTAL (Ron; daun, Tal; pohon Tal). Sedangkan kata sewu (seribu) dibelakangnya lebih menunjukkan jumlah yang banyak. Menurut sumber itu TAL SEWU berarti menunjukkan jumlah naskah-naskah yang banyak di sebuah tempat.
Masih berdasar lingua franca, pusat religi dan spiritual Jenggala diperkirakan berada di kawasan Buduran. Sebuah sumber mengkaitkan ini dengan kata Budur yang dalam Sansekerta berarti Biara. Kata Budur yang berarti biara ini bisa kita lihat dari kata Borobudur yang berarti biara yang tinggi (Boro: tinggi, Budur: Biara). Bila kata Budur ber-lingua franca dengan biara, maka Buduran berarti sebuah komplek berkumpulnya satu atau lebih biara. Dengan kata lain Kecamatan Buduran di masa Jenggala adalah pemukiman bagi pemuka-pemuka agama.
“Pusat Bisnis: Bandar Sungai Porong”
Pada masa pemerintahan Sri Jayantaka, bandar dagang di Porong sedang dalam puncaknya. Konon bandar dagang ini dikatakan terbesar kedua setelah Sriwijaya.
Banyaknya orang-orang asing yang
berdagang semakin menunjukkan bandar
dagang ini diperhitungkan di dunia internasional. Boleh jadi lahirnya
bandar dagang ini merupakan babak baru bagi perjalanan
sejarah Jawa.
Pada awalnya,
kerajaan di Jawa bersifat agraris dan berada
di lereng-lereng gunung. Segala aktifitas
pemerintahan banyak dilakukan
di sana. Tingkat interaksi dengan dunia luar tidak
secepat Sriwijaya. Dengan keberadaan bandar dagang ini secara tidak langsung memindahkan kerajaan gunung ke kerajaan
Pantai. Merubah budaya agraris dengan
budaya merkantilis (perdagangan).
Ada dua orang dari negeri Cina yang sempat mencatat keberadaan Bandar dagang Porong. Menurut Chou Yu Kua, Bandar dagang di Porong merupakan sebuah pelabuhan yang besar dengan pajak murah dan kantor-kantor dagang yang berjejer dengan suasana yang menyenangkan. Kantor-kantor dagang itu mengurusi palawija, emas, gading, perak dan kerajinan tangan yang selalu disenangi dan dikagumi orang Ta-shi (Arab). Pusat perdagangan berada di tempat yang bernama Yeo-thong (Jedong, sekarang wilayah Ngoro). Di belakangnya ada gunung dengan sembilan puncak yang selalu diselimuti kabut tebal. Gunung yang bernama Pau-lian-an (Penanggungan) itu menjadi pedoman navigasi kapal yang akan masuk pelabuhan Porong Chou Ku Fei, seorang Pedagang, menuliskan kondisi subur tanah Jung-ga-luh (Jenggala) yang banyak dikelilingi sungai- sungai besar yang tembus dampai di gunung Pau-lain-an (Penanggungan). Sedangkan Bandar dagang di Porong banyak didatangi oleh para pedagang dari Cina, Arika, Thailand, Ta- shi (Arab) yang mengimpor beras, kayu Cendana, Kayu Gaharu dan bunga-bunga kering seperti Kenanga dan Melati.
Ada dua orang dari negeri Cina yang sempat mencatat keberadaan Bandar dagang Porong. Menurut Chou Yu Kua, Bandar dagang di Porong merupakan sebuah pelabuhan yang besar dengan pajak murah dan kantor-kantor dagang yang berjejer dengan suasana yang menyenangkan. Kantor-kantor dagang itu mengurusi palawija, emas, gading, perak dan kerajinan tangan yang selalu disenangi dan dikagumi orang Ta-shi (Arab). Pusat perdagangan berada di tempat yang bernama Yeo-thong (Jedong, sekarang wilayah Ngoro). Di belakangnya ada gunung dengan sembilan puncak yang selalu diselimuti kabut tebal. Gunung yang bernama Pau-lian-an (Penanggungan) itu menjadi pedoman navigasi kapal yang akan masuk pelabuhan Porong Chou Ku Fei, seorang Pedagang, menuliskan kondisi subur tanah Jung-ga-luh (Jenggala) yang banyak dikelilingi sungai- sungai besar yang tembus dampai di gunung Pau-lain-an (Penanggungan). Sedangkan Bandar dagang di Porong banyak didatangi oleh para pedagang dari Cina, Arika, Thailand, Ta- shi (Arab) yang mengimpor beras, kayu Cendana, Kayu Gaharu dan bunga-bunga kering seperti Kenanga dan Melati.
“Runtuhnya Jenggala”
Seperti yang telah dikemukakan bahwa Bandar dagang Porong merupakan sumber perselisihan yang mengarah pada pertumpahan darah. Sri Jayawarsa yang memerintah Kediri (Dhaha) menuntut kepada kerajaan Jenggala agar Bandar dagang di Porong diserahkan pada Dhaha. Tuntutan ini di tolak oleh Raja Jenggala yang mendasarkan pada hasil pembelahan Kahuripan di Jaman Airlangga. Atas jawaban ini raja Dhaha mengancam akan merebut Bandar dagang Porong dan menyerbu Jenggala dengan kekuatan militer. Patut diketahui dalam bidang militer Dhaha lebih unggul dari pada Jenggala. Karenanya dapat dipastikan bila terjadi perang maka Jenggala akan berada di pihak yang kalah. ntuk menghindari terjadinya peperangan saudara ini, dan juga untuk agar Bandar dagang Porong dikuasai dua kerajaan, maka diusulkan untuk menggelar perkawinan antar dua putra mahkota.
Dua orang itu adalah Inu Kertapati anak raja Jenggala, dan Dewi Sekartaji putri. Perkawinan ini diharapkan bisa mereda ketegangan antara Jenggala dan Dhaha. Tetapi konsensus yang digagas itu kenyataannya tidak berjalan mulus. Walaupun Dewi Sekrataji sangat mencintai Inu Kertapati, tetapi Inu kertapati ternyata tidak mencintai sepupunya itu. Ia lebih memilih Dewi Anggaraini anak patih Jenggala. akibatnya ketegangan memuncak lagi. Kerajaan Dhaha kembali mengancam akan membumi hanguskan Jenggala bila perkawinan politik itu gagal. Oleh Kecemasan akan serbuan Dhaha itu, raja Jenggala membuat kebijakan dengan membunuh Dewi Anggraini. Sehingga diharapkan perkawinan antara Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji bisa berjalan Lancar. Namun permasalahan tidak berhenti disini. Sedih karena kematian kekasihnya, Inu Kertapati diam-diam meninggalkan istana Jenggala. Ia pergi berkelana. Sedangkan Dewi Sekartaji yang merasa malu karena Inu Kertapati lebih mencintai oranglain juga melakukan hal yang serupa. Sekartaji (atau juga disebut Galih Candra Kirana) meninggalkan Dhaha.
Dari perjalanan ini pula timbul sebuah legenda Jawa yang terkenal sampai sekarang, Ande-ande lumut. Dimana dalam cerita itu Inu Kertapati di simbolkan sebagai Ande-ande Lumut, seorang jejaka anak pungut Mbok Rondo Dadapan yang membuat hati para gadis takluk. Sedangkan Dewi Sekartaji disimbolkan sebagai Klenting Kuning, seorang anak pungut yang disia-siakan saudara dan ibu tirinya, tetapi pada akhirnya ia yang dipilih Ande-ande lumut menjadi istri. Perjalanan kedua putra mahkota ini juga di tulis oleh Mpu Dharmaja, seorang pujangga Dhaha, dalam kekawin Asmaradahana pada pemerintahan Kameswara 1. Kemudian mereka melaksanakan pernikahan di Dhaha dan Inu Kertapati Marak dinobatkan menjadi Raja Dhaha dengan gelar Kamesywara 1 (1115-1130), bergelar Sri maharaja rake sirikan sri Kameswara Sakalabhuwanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, lencana kerajaan berbentuk tengkorak bertaring yang disebut Chandrakapala, dan adanya mpu Dharmaja yang telah menggubah kitab Asmaradahana (berisi pujian yang mengatakan raja adalah titisan dewa Kama, ibukota kerajaan bernama Dahana yang dikagumi keindahannya oleh seluruh dunia, permaisuri yang sangat cantik bernama Dewi Candhra Kirana). Mereka dalam kesusasteraan Jawa terkenal dalam cerita Panji. Dengan dinobatkannya Inu Kertapati sebagai Raja Dhaha maka kerajaan Jenggala dan Dhaha disatukan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1045 M. Terhitung dari tahun ini Jenggala sebagai kerajaan Besar pelan-pelan menutup buku sejarah.
“Kemana Perginya Pelarian Jenggala?”
Dengan iangkatnya Inu Kertapati menjadi raja di Dhaha, maka secara tidak langsung wilayah Kahuripan yang sebelumnya terpecah dapat disatukan lagi. Hanya saja wilayah itu tidak dibawah bendera Jenggala tetapi bendera Kerajaan Dhaha. Bisa dikatakan bahwa pada saat itu Kerajaan Jenggala mulai surut. Raja-raja Jenggala setalah Sri Jayantaka menarik Kerajaan lebih ke jauh di Utara. Sejarah masih bisa melacak keberadaan Jenggala hingga tahun 1059, peristiwa ini bisa dilihat dari prasasti Kembang Putih di Lamongan. Prasasti ini menulisakn bahwa kraton Jenggala berada di sebelah utara sungai Lanang. Kraton ini berada di sana sampai dengan pemerintahan raja Jenggala terakhir Sri Samarattongga. setelah itu Jenggala hilang dari panggung sejarah. Sampai saat ini masih belum didapat sebuah sumber yang menjelaskan secara tepat perginya orang Jenggala setelah 1059. Apakah mereka dari raja hingga rakyatnya habis ditumpas bala tentara Dhaha ataukah orang-orang Jenggala itu hijrah ke tempat lain?
“Sebuah Mitologi Candi Pari”
ketinggian 4,42 meter di atas permukaan air laut ini memiliki
area luas mencapai
1310 meter persegi. Sementara bangunan
induknya terletak
di sisi timur area. Ada dua versi cerita
tentang Candi Pari yang saling bertolak belakang. Di satu versi Candi Pari di sebut sebagai bangunan
persembahan untuk Ratu Campa, atau lebih tepatnya sebagai
tempat persinggahan sang ratu bila ingin mengunjungi saudaranya di Majapahit. Sedangkan di versi kedua, Candi Pari menjadi simbol pembangkangan rakyat sekitar candi terhadap penarikan upeti
dari Majapahit yang saat itu diperintah Hayam Wuruk (Rajasa Negara). Menurut versi ini kondisi daerah di Candi Pari adalah hutan rimba. Adalah Jaka Pandelegan (konon masih anak Prabu Brawijaya dari perselingkuhannya dengan seorang gadis desa bernama Ni Jinjingan) yang berjasa
menyulap daerah
hutan menjadi daerah
pertanian yang makmur. Kemakmuran itu membuat Majapahit menuntut upeti dengan jumlah yang tinggi. Jaka Pandelegan yang merasa
tidak berhutang budi dengan
Majapahit menolak tuntutan itu.
Hasil pertanian tidak diserahkan ke Majapahit tetapi untuk
kepentingan masyarakat di daerah itu. Majapahit yang sedang jaya itu menganggap sikap Jaka Pandelegan sebagai tantangan terhadap bala tentaranya. Untuk itu Majapahit kemudian
mengirim pasukan untuk
menangkap dan menghukum Jaka Pandelegan. Singkat cerita
pasukan itu sampai di desa Jaka Pandelegan.
Mereka bergerak cepat untuk menangkap tokoh yang dianggap
pembangkang itu. Jaka
Pandelegan lari menghindari tangkapan
prajurit Majapahit dan melompat di tumpukan padi, di sana ia muksa.
Merasa tidak bisa menangkapnya, prajurit Majapahit bergerak untuk menangkap istri Jaka Pandelegan yang bernama Nyi Walang Angin. Sama dengan suaminya, wanita itu berlari dan menceburkan diri di sebuah sumur di sebelah selatan tumpukan padi itu, disana ia juga tidak pernah ditemukan. Untuk mengenang suami istri yang berjasa pada daerah itu maka didirikanlah Candi Pari di bekas tumpukan Padi dan Candi Sumur di daerah itu.Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa kedua versi itu saling bertolak belakang. Salah satu versi melambangkan Candi Pari sebagai persembahan bagi penguasa, sedangkan versi satunya menjadikan Candi Pari sebagai simbol bagi perlawanan terhadap penguasa. Walaupun berbeda setidaknya kedua versi itu akan saling melengkapi, apalagi jika mau kita menggali, mengumpulkan dan mendokumentasi kejadian masa lampau. ***
Merasa tidak bisa menangkapnya, prajurit Majapahit bergerak untuk menangkap istri Jaka Pandelegan yang bernama Nyi Walang Angin. Sama dengan suaminya, wanita itu berlari dan menceburkan diri di sebuah sumur di sebelah selatan tumpukan padi itu, disana ia juga tidak pernah ditemukan. Untuk mengenang suami istri yang berjasa pada daerah itu maka didirikanlah Candi Pari di bekas tumpukan Padi dan Candi Sumur di daerah itu.Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa kedua versi itu saling bertolak belakang. Salah satu versi melambangkan Candi Pari sebagai persembahan bagi penguasa, sedangkan versi satunya menjadikan Candi Pari sebagai simbol bagi perlawanan terhadap penguasa. Walaupun berbeda setidaknya kedua versi itu akan saling melengkapi, apalagi jika mau kita menggali, mengumpulkan dan mendokumentasi kejadian masa lampau. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar