Rabu, 26 Agustus 2015

Awal Cerita Sidoarjo ( Keris Pemberontakan Sang Adipati) Part 3



KERIS PEMBERONTAKAN SANG ADIPATI


    

Umpama Adipati Jayenggrana pejabat yang “sendiko dawuh pada Sri Sunan Pakubuwono dan Belanda, bisa jadi Sidoarjo masih berada di wilayah administrasi Surabaya dan masih bernama Sidokare. Tetapi karena sang Adipati memilih mengambil jarak dengan dua penguasa itu, maka ia terbunuh di usia muda.
  
    Dengan terbunuhnya Jayenggrana Belanda memecah wilayah Surabaya. Dan salah satunya pecahannya berbentuk kabupten Sidoarjo. Kelahiran “jabang bayiSidoarjo tidak butuh jalan yang berpilin. Cukup dengan dua lembar surat keputusan Belanda.

Satu surat untuk menyatakan sebagai Kabupaten dan surat lain untuk mengubah nama dari Sidokare menjadi Sidoarjo. Untuk memerintah kabupaten baru ini diangkatlah Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) yang berasal dari Kasepuhan Surabaya sebagai Bupati pertama.

Sidoarjo merupakan basis ekonomi pertanian yang sangat kuat. Terbukti dengan beberapa pabrik gula dan beberapa jalur rel kereta api di Sidoarjo. Keberadaan pabrik gula ini memang membuat Sidoarjo sebagai kekuatan ekonomi, tetapi juga menyisakan permasalahan yang berbuntut perlawanan dari penduduk Sidoarjo.

Akhir abad ke 17 Surabaya menjadi kadipaten yang mempunyai wilayah kekuasaan yang luas. Pada waktu itu kadipaten ini mencakup daerah Pasuruan, Madura, sebagian Kalimantan bagian selatan, Sedayu, Bojonegoro dan Sidoarjo (yang pada saat itu bernama kawedanan Sidokare). Secara administratif Surabaya berada di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadinigrat. Seperti yang telah diketahui setelah perjanjian Giyanti, pulau Jawa dikuasai oleh dua kerajaan besar yang dalam istilah Belanda di sebut Vorstenlanden. Masing-masing adalah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Surabaya adalah kota yang penuh dengan catatan-catatan pemberontakan. Dan hampir semua pemberontakan itu padam setelah pemimpinnya terbunuh atau dibunuh. Sebut saja pemberontakan Pangeran Pekik (Adipati Surabaya yang diangkat Mataram), pada tahun 1625 Surabaya ditaklukkan Mataram yang pada waktu itu di perintah Amangkurat 1. Penaklukan ini dilakukan sebagai hukuman terhadap Pangeran Pekik yang dianggap ingin mendirikan Surabaya menjadi daerah yang otonom dari Mataram dan Belanda.

  Pemberontakan selanjutnya adalah Trunojoyo seorang pangeran dari Madura. Dalam proses pemberontakannya Trunojoyo berhasil mengendalikan dan menguasai daerah pesisir utara sampai dengan lereng Kelud. Semua pemberontakan itu mengarahkan taringnya pada Kasunanan Solo yang dianggap lemah terhadap Belanda. Pemberontakan-pemberontakan ini tidak berasal dari kalangan borjuis saja, pada tahun 1671 Untung Soerapati, seorang kebanyakan, melakukan pembangkangan dengan mengobarkan perang dari Pasuruan.

Untung Surapati ini bisa dikatakan berhasil dari pada pemberontakan sebelumnya. Karena ia tidak saja mampu bertahan lama (1686 -1706) , tapi juga bisa mendirikan sebuah pemerintahan mandiri yang lepas dari pengaruh Surakarta dan Surabaya. Bahkan ia berhasil mengusir kedudukan Tumenggung Onggojoyo di Pasuruan di tahun 1686.


“Pembangkangan Adipati”
Adipati Jayenggrana adalah putra dari OnggowongsoTumenggung Surabaya yang masih saudara kandung dari Tumenggung Onggojoyo di Pasuruan. Jayenggrana (atau juga di sebut Janggrana) selain merupakan cucu langsung dari Ki Ageng Brondong dan juga masih paman tokoh pemberontak Sawunggaling.

Kraton Kasunan Surakata 
Sebagai titik awal pemberontakan Jayanegara
Sejak awal adipati muda ini mengambil jarak dengan pihak Keraton Kasuhunan Surakarta.Hal ini karena Sunan Paku Buwono bersikap lemah terhadap Belanda. Karenanya ia juga bersikap lemah kepada setiap pemberontakan yang ditujukan ke Surakarta. Ketika Untung Surapati mengamuk dan menguasai Pasuruan, Adipati Jayenggrana tidak ambil pusing, bahkan cenderung membiarkan. Juga ketika pemberontakan ini menguncang kedudukan Tumenggung Onggojoyo yang tak lain adalah paman dari Adipati Jayenggrana sendiri. 

Sikap Adipati Jayenggrana yang non kooperatif ini membuat Belanda daKasuhunan kerepotan. Apalagi dengan lemahnya sikap Jayenggrana kepada pemberontakan Untung Surapati yang terang-terangan menantang kekuasaan Surakarta dan Belanda dengan mendirikan kerajaan di Pasuruan. Kedua pihak itu menganggapnya sebagai orang yang pantas disingkirkan. Pada tahun 1706 pemberontakan Untung Surapati berakhir dengan tewasnya tokoh tersebut dalam perangan melawan Belanda di daerah Bangil. Dengan tumpasnya pemberontakan itu, tiga tahun kemudian, tepatnya pada 7 Februari 1709 Kompeni Belanda memaklumatkan dua tuntutan kepada Adipati Jayenggrana, yaitu; Pertama, Penyerahan kekuasaan atas daerah Wirosobo dan Japanan. Kedua, pencabutan hak atas daerah Sedayu dan Jipang (Bojonegoro). 

Adipati Jayenggrono menolak dua tuntutan itu. Karena ia tahu tujuan dari Belanda adalah mempersempit daerah kekuasaan Surabaya atas wilayah-wilayah diatas. Karena dengan luasnya daerah Surabaya akan menimbulkan kesulitan bagi Belanda untuk mengontrolnya selain juga bertujuan memperkecil peran Adipati Jayenggrana secara politis. Penolakan ini dianggap sebagai sebuah pembangkangan terhadap Kasuhunan dan Belanda. Dengan demikian Belanda membariskan serdadunya untuk menggempur Surabaya.

Jika Belanda ingin menghukum Adipati Jayenggrana dengan kekerasan, tidak demikian dengan Keraton Surakarta. Karena jika memahami tipikal orang pesisir, penyikapan dengan kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru. Pada tanggal 26 Februari 1709 Adipati Jayengrana di panggil untuk menghadap Sunan Pakubuwono. 

Kawasan Pantai Pasuruan
Daerah yang pernah dik
uasai untung Suropati

Ternyata ini adalah taktik Kasuhunan untuk menyingkirkan Sang Adipati. Di kisahkan oleh Dukut Imam Widodo dalam bukSurabaya Tempo Doeloe, Adipati Jayenggrana memenuhi panggilan itu dengan berpakaian putih-putih dan berpengiringkan sekitar empat puluh orang saja. Sesampai di keraton, Adipati Jayenggrana memasuki keraton seorang diri setelah memerintahkan para pengiringnya menunggu di alun- alun.

Pada jam sembilan pagi saat Jayenggrana akan melintasi gerbang tiba- tiba muncul belasan perajurit Kasunanan yang mengepung dan menyerangnya hingga menemui ajal. Bersamaan dengan itu ratusan prajurit lain mengepung pengiring Jayenggrana yang ketahuan mulai beringas melihat junjungannya mati. Adipati Jayenggrana terbunuh pada usia 34 tahun. ***

Bersambung................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar